keminggris

kbbismilex.jpg
Membaca liputan mingguan di Kompas yang membahas tentang orang-orang Indonesia yang sukses belajar hingga bekerja di negeri orang. Mereka yang sebenarnya juga TKI (Tenaga Kerja Indonesia), namun berada di strata yang lebih beruntung alias bekerja di luar negeri tapi bukan sebagai pekerja kasar.

Salah satunya adalah kisah Arief Budiman -kakak kandung dari tokoh mahasiswa yang kisahnya sukses difilmkan: Soe Hok Gie- yang telah puluhan tahun hidup di luar Indonesia, dan kini menjadi pengajar di sebuah universitas di Australia.

Apa yang menarik dari Arief untuk dibahas di sini? Sebagai manusia yang mungkin mimpinya pun berbahasa Inggris, ia tetap lebih memilih berbahasa Indonesia jika harus bercakap-cakap dengan sesama orang Indonesia. Rasanya nikmat sekali jika saya bisa bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, ujar dosen Satya Wacana ini.

Ternyata suami psikolog Leila CH Budiman ini tidak sendiri. Sebagian besar orang Indonesia yang telah lama tinggal di luar negeri, ataupun yang terbiasa menggunakan bahasa negara setempat, tetap merindukan berbahasa Indonesia karena merasa lebih nikmat.

Sayangnya kerinduan dan kenikmatan berbahasa Indonesia ini tidak dirasakan oleh para produsen bangsa kita. Ini terlihat dari masih banyak yang menganggap pemakaian bahasa Inggris dalam iklan mereka akan dapat meningkatkan citra merek dari produk yang diiklankan. Termasuk juga yang menganggap dengan nge-english akan dapat mengubah kelas target market dari B ke A. Ini isyu lama sih, tapi masih tetap relevan untuk terus diperbincangkan.

Orang kita saat ini lebih banyak yang ngomong pake bahasa Inggris, bahkan ABG aja sekarang juga sudah pada keminggris (baca: sok-sokan berbahasa Inggris), menurut seorang praktisi iklan. Jika keadaannya seperti itu, apakah wajar iklan yang keluar jadinya akan berbahasa Inggris, sekalipun produknya bersifat sangat lokal, iklannya sangat bermuatan lokal (local content), dan ditujukan untuk 100% orang Indonesia, di wilayah Indonesia pula?

Jika melihat kerinduan orang-orang seperti Arief Budiman yang lama tinggal di negeri orang akan bahasa Indonesia, tampaknya ke-english-an iklan lokal tersebut bisa jadi salah kostum jika ditayangkan di wilayah lokal.

Kesuksesan iklan dari Jepang dan Thailand dalam memenangkan award internasional justru karena kelokalannya, sudah tentu termasuk bahasanya. Dengan kelokalan yang kental, banyak keunikan dan kelucuan yang bisa didapat. Penanda yang paling terlihat dari sebuah kelokalan apalagi jika bukan dari bahasanya.

Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah. Sudah saatnya para pemilik produk jangan lagi ragu akan produk unik mereka yang sangat kedaerahan. Tak ada salahnya bikin iklan pake bahasa daerah, asalkan sesuai dengan target konsumennya. [b\w]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar