Apa kabar Bahasa Indonesia (-nya Obama)?

[28 Januari 2009]


 "Selamat siang, bapak!"

"Terima kasih, apa kabar?"

Demikian penggalan kalimat Bahasa Indonesia yang diucapkan oleh Charles Silver, yang spontan dijawab juga dengan Bahasa Indonesia oleh Presiden Barrack Obama. Kejadian sapa-menyapa ini berlangsung ketika Obama melakukan kunjungan ramah-tamah ke Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Selanjutnya Obama dengan bahasa Inggris memuji kefasihan berbahasa Indonesia mantan konselor di Jakarta itu. Apa yang bisa dijadikan pelajaran dari peristiwa spontan itu, yang ternyata juga menarik perhatian media di AS sana? Ternyata Bahasa Indonesia memiliki tempat istimewa di diri Obama dan juga tentunya bagi Charles.

Bahasa Indonesia terbukti tidak hilang begitu saja dari memori presiden AS pertama Afro-Amerika itu. Bahkan dengan cerdiknya, seorang diplomat senior berhasil menjadikan Bahasa Indonesia sebagai cara jitu guna menarik perhatian dirinya, bahkan berhasil mencuri perhatian media masa internasional.

Yaa, sapa tau presiden mau ngangkat gue jadi wakilnya Hillary, sukur-sukur diangkat jadi utusan khusus untuk Asia-Pasifik, mungkin begitu kira-kira pikiran dan harapan Charles Silver yang pernah tinggal 7 tahun di Indonesia. Jika ternyata mimpinya itu terwujud, dia pasti akan sangat berterima kasih kepada guru Bahasa Indonesianya dahulu.

Di saat Bahasa Indonesia yang saat ini sedang mengalami krisis identitas karena banyaknya anak-anak kita yang lebih piawai ber-english-ria ketimbang berbahasa ibunya akibat belajar di sekolah borjuis dengan kurikulum internasional. Munculnya sepatah-duapatah kata Bahasa Indonesia di pusat perhatian dunia (baca: Amerika Serikat), cukup memberi angin segar akan eksistensi bahasa kita.

Noh, presiden dunie aje kagak malu pake bahase Indonesie, masak kite-kite malah bangge pake bahase die?? Dunie emang udeh kebolak-balik! seru Mat Peci, seorang jawara di kampung Bojong di pinggiran Jakarta. Meski Mat Peci tidak punya wewenang ilmiah dalam menganalisa pemakaian bahasa, tapi rasanya komen spontannya patut direnungkan. Jangan sampai di masa depan anak-anak kita tak lagi bisa berbahasa Indonesia dan hanya bisa berkata, Apa kabar Bahasa Indonesia? [b\w]

KBBI juga (buatan) manusia…

Pengasuh pondok bahasa ini belum sempet nulis, jadi lagi-lagi cuma ngambil dari harian Kompas, terbitan Jumat 23 januari 2009, halaman 15, mengenai terbitnya Kamus Besar Bahasa Indonesia versi terbaru yang ternyata juga ada sedikit kejanggalan (kalau tidak mau dibilang kesalahan), silakan simak…
kamus baru

Pudarnya Pesona Bahasa Indonesia

Tulisan tentang Bahasa Indonesia di harian Kompas terbitan Senin, 12 Januari 2009, halaman 14.
pudarnya pesona bahasa Indonesia

SECURITI

7 - 1 - 2009
 
pintu darurat

DILARANG KERAS MEMBUKA PINTU EMERGENCY EXIT
Kecuali Dalam Keadaan Darurat atau Izin Securiti


Sungguh indah hidup di negeri Indonesia ini, kita bisa bebas melakukan apa saja tanpa merasa bersalah, tanpa ada yang mengawasi jika kita melakukan kesalahan, tanpa ada sangsi sanksi apa pun jika kesalahan itu tetap dilakukan. Tentunya termasuk dalam menggunakan kalimat campuran dalam berbahasa.

Lihat peringatan di sebuah gedung di kawasan SCBD Jakarta ini, sudah menggunakan bahasa campuran, salah pula menuliskan kata campurannya (securiti? Kenapa nggak sekalian aja sekuriti, atau semrikiti? Hehehe…).

Yuk kita coba tulis dengan Bahasa Indonesia, kira-kira jadi aneh nggak ya?

DILARANG KERAS MEMBUKA PINTU KELUAR DARURAT
Kecuali Dalam Keadaan Darurat atau Izin Petugas Keamanan


Masih enak dibaca kan? Sebagai orang Indonesia seharusnya jangan malas mencari padanan kata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, jika malas akibatnya jadi begini deh… salah tulis…

'Rp' itu Bukan Singkatan!

Bahasa Indonesia sesungguhnya adalah bahasa yang mudah dipelajari dan mudah dipakai. Buktinya hingga saat ini digunakan oleh lebih dari 100 juta orang, paling tidak di Nusantara ini, belum lagi orang asing yang makin banyak berbahasa Indonesia dengan lancar. Namun sayangnya banyak dari kita yang kurang peduli terhadap aturan mainnya, terutama dalam penggunaan tanda baca. Contohnya beberapa iklan di bawah ini yang tayang di sebuah harian nasional.
-

Rp sebagai penanda mata uang rupiah sesungguhnya telah menjadi lambang bukan lagi singkatan seperti layaknya: dsb. dll. tsb. yang memang punya kewajiban diikuti titik, dengan begitu Rp tidak lagi menggunakan titik di belakangnya. Seperti halnya lambang dolar ($) atau Yen Jepang () penggunaannya adalah tanpa titik. Sedangkan untuk ‘koma strip’ seharusnya diganti dengan ‘koma nol nol’, misalnya Rp 1.000,00 yang menandakan tidak ada tambahan sesenpun. Atau boleh lah dalam bahasa iklan menjadi Rp 1000/ekor, lebih ringkas, kan?
-

Penulisan koma di belakang angka adalah guna mengakhiri keberadaan angka besar/angka utama. Misalnya seperti contoh yang sudah ditulis tadi di atas. Jadi tidak salah jika kita membaca iklan tersebut menjadi hanya untuk 7 (tempat duduk) bukan “7 ribu tempat duduk”. Selama iklan tersebut memakai Bahasa Indonesia, bukankah aturan per-angka-an-nya juga seharusnya mengikutinya? Mentang-mentang harga tiketnya pakai dolar menyebut jumlah tempat duduk jadi ikutan aturan US English…?
-

Untuk contoh yang terakhir ini, tidak berhubungan dengan angka, tapi masih seputar tanda baca. Bagusnya dalam menuliskan diperpanjang dan dilakukan tidak menjadi di perpanjang dan di lakukan, tapi penulisan singkatan sampai dengan seperti kembali ke jaman dahulu kala. Ini juga kasus yang banyak sekali terjadi di dalam penulisan iklan kita. Jarang sekali ditemukan penulisan singkat sampai dengan seperti yang seharusnya: s.d. bukan lagi s/d. Entah mengapa hal ini selalu terjadi…

Polisi Bahasa?

21 Desember 2008

Apa yang ada di pikiran jika kita mendengar kata polisi? Kebanyakan pasti berpikir masalah tilang, pelanggaran lalu-lintas, kriminalitas, dan yang berhubungan dengan penegakkan hukum. Tapi apa yang Anda pikirkan jika mendengar kata polisi bahasa?

Itulah yang ditulis oleh nonadita di kolom blogger terpilih yang ada di dagdigdug.com. Polisi bahasa di sini tentunya merujuk kepada blog yang sedang Anda buka ini, mungkin karena isinya yang selalu membahas tentang masalah pemakaian bahasa, termasuk pemakaian yang tidak tepat, sehingga dianggap sebagai tindakan pemolisian bahasa.

Polisi sendiri dalam bahasa inggris disebut police. Bahasa Indonesia mengadaptasi penyebutan bahasa penjajah Belanda: politie, sehingga di lidah inlander keluarnya jadi polisi. Menurut KBBI Daring, polisi adalah: 1 badan pemerintah yg bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yg melanggar undang-undang dsb); 2 anggota badan pemerintah (pegawai negara yg bertugas menjaga keamanan dsb).

KBBI Daring juga menuliskan beberapa contoh penempatan katanya antara lain: polisi ekonomi polisi yg mengamati pelanggaran aturan yg mengenai perekonomian; polisi lalu lintas polisi yg memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas; polisi militer anggota tentara yg menjalankan tugas selaku polisi untuk menjaga ketertiban atau disiplin anggota tentara yg lain.

Kalo polisi bahasa mungkin bisa berarti polisi yang mengamati pelanggaran aturan mengenai pemakaian bahasa, atau polisi yg memelihara keamanan dan keselamatan berbahasa Indonesia? Entahlah, yang jelas di dalam struktur pemerintahan tidak ada (atau belum?) yang namanya polisi untuk mengawasi pemakaian berbahasa, ngawasin rakyat aja masih bingung…
Mungkin agak berlebihan jika blog ini dibilang sebagai polisi bahasa. Karena tidak ada pengawasan dalam pemakaian bahasa Indonesia di negeri ini, apalagi tuntutan hukum bagi pelanggarnya, seperti yang dilakukan olah polisi beneran. Apa yang ada di Bahasa, please! hanyalah berbagi pengetahuan, pengalaman, dan keprihatinan akan pemakaian bahasa Indonesia, yang dirasa makin hari makin tidak beraturan dan makin tergerus oleh bahasa asing yang bertubi-tubi menghantam tata bahasa kita.

Tapi apapun istilahnya, Bahasa, please! sangat berterimakasih kepada nonadita dan juga paman tyo yang merekomendasikan blog ini. Karena dengan begitu, Bahasa, please! jadi bisa lebih dikenal, sehingga bisa lebih menyebarkan kesadaran berbahasa Indonesia yang baik, dan bisa bermanfaat bagi lebih banyak orang, terutama yang peduli terhadap bahasa Indonesia. Terima kasih juga untuk Anda, yang sedang membaca blog ini, karena telah mencintai Bahasa Indonesia. :)

*karena dagdigdug.com sudah almarhum, maka tulisan wawancara tsb bisa dilihat di sini: http://benemenulis.blogspot.com/2012/11/polisi-bahasa.html

Akibat Pergaulan (berbahasa) Bebas


melet bendera

Sebuah taksi meluncur dari Cawang menuju arah Semanggi. Ketika baru saja melewati perempatan Pancoran, sang penumpang meminta supir taksi untuk berbalik arah,
Pak, nanti mutar di kuningan, kita ke Hero situ..

Namun apa yang terjadi? Setelah melewati lampu merah Kuningan, ternyata dia berbelok ke Jalan Rasuna Said arah Menteng! Tak ayal wanita penumpangnya marah-marah. Dengan santainya pengemudi taksi itu bilang,
Lho, tadi kan mbak nyuruhnya mutar Kuningan, sekarang ini kan di Kuningan
Menurut pak taksi itu, kata mutar yang asal katanya putar, rupanya sama dengan kata belok! Padahal maksud si penumpang adalah berbalik arah

Seorang pilot taksi memang tidak perlu membawa Kamus Besar Bahasa Indonesia (kecuali ada penumpangnya yang tak sengaja meninggalkannya di dalam taksi), namun paling tidak jika ia memang seorang warga negara Indonesia, haruslah bisa berbahasa Indonesia dengan benar. Dalam kasus ini, penggunaan kata mutar atau muter sebagai bahasa lisan sudah baik. Tapi ternyata mengartikannya yang tidak benar.

Contoh berikut tak kalah memprihatinkan. Seorang reporter sebuah televisi berita terkenal di Indonesia, memberikan laporan langsung dalam rangka hari besar umat Islam,
Warga yang beragama muslim, sejak pagi telah memadati masjid..

Beragama muslim? Kayaknya semua juga tahu, penyebutan agama adalah Islam, sedangkan pemeluknya disebut muslim. Jangan-jangan ia juga tidak tahu penyebutan umat kristiani untuk para pemeluk agama Kristen?

Ada yang bilang, di Indonesia tidak diajarkan dari kecil untuk memakai bahasa Indonesia dengan benar dan baik. Di sekolah hanya diajarkan teori-teori yang membosankan, tidak sampai diajarkan bagaimana menggunakan kalimat lisan dan tulisan.

Sekarang malah gawat, banyak sekolah swasta yang mengaku berbasis kurikulum internasional mengajarkan bahasa Inggris dari kecil, sekali pun sekolahnya terletak di tengah perkampungan padat di Indonesia. Bahasa Indonesia jadi seperti nomor dua!

Padahal, seseorang akan dapat menguasai bahasa asing lebih baik, jika mereka lebih dahulu menguasai dengan baik pula bahasa yang dipakai sehari-hari dalam kehidupannya. Jika tidak, maka kasus-kasus seperti yang diceritakan tadi akan makin sering terjadi.

Kita memang wajib mengetahui bahkan menguasai bahasa asing, tapi sebaiknya menguasai lebih dulu bahasa wajib kita sendiri. Jika kita membiarkan anak-anak kita bergaul bebas dengan bahasa asing sejak piyik tanpa lebih dahulu memperkuat landasan bahasa Indonesianya, jangan salahkan bunda mengandung jika besar nanti ngomongnya ngaco. :D [b\w]

Jam 1 Pagi atau Jam 1 Malam?

Jam 1 pagi atau jam 1 malam?

"Halo, selamat malam."
"Selamat pagi, sekarang sudah jam 1 lho pak, sudah pagi..."

Begitulah penggalan dialog antara seorang penyiar sebuah acara siaran langsung di sebuah televisi swasta, dengan salah seorang pemirsanya yang berhasil menelpon ke studio tv tersebut. Jam menunjukkan pukul 01.00 Waktu Indonesia Barat, dini hari!

Bagaimana seharusnya kita mengucap salam di saat itu. Selamat malam, ataukah selamat pagi? Mungkin kita lihat dulu penyebutan 12 jam sebelumnya, yaitu ketika waktu menunjukkan pukul 13.00, orang sudah pasti akan bilang selamat siang… Lawan dari siang adalah malam, jadi sebaiknya ketika sampai pada jam 01.00, salam yang diucapkan adalah selamat malam bukan?

Waktu terus bergulir, sampailah di angka 03.00, sehingga ucapan yang keluar sudah pasti selamat pagi tak mungkin masih selamat malam. Kita lihat lagi waktu yang berlawanan, pukul 15.00 orang akan menyebutnya jam 3 sore. Ini tepat, karena lawan dari sore adalah pagi.

Jika melihat teori berlawanan tadi, sudah seharusnya ucapan di saat jam 01.00 menjadi selamat malam meskipun hari itu secara resmi sudah berganti dari hari sebelumnya. Tapi bagaimana dengan jam malam yang lain, misalnya pukul 19.00. Jika kita lihat waktu yang berlawanannya adalah jam 07.00 pagi! Tidak mungkin kita bilang jam 7 siang, padahal lawannya jam 19.00 disebut jam 7 malam?

Untuk di negara tropis dengan dua musim, ini memang jadi masalah. Tapi jika di negara sub-tropik dengan empat musim, jam 19.00 belumlah gelap jika waktu musim panas. Ini berarti jam 19.00 masih bisa dibilang jam 7 sore berlawanan dengan jam 07.00 yang pagi. Bahasa Inggris pun masih menggunakan evening untuk waktu tanggung ini. Baru akan menggunakan good night kira-kira setelah lewat jam 21.00 atau jika akan pergi tidur.

Kembali ke salam di tengah malam, bagaimana jika kita bilang selamat dini hari untuk waktu yang menunjukkan jam 24.00 sampai 02.30. karena memang saat itulah awal hari dimulai, alias dini. Penyiar di atas tadi harusnya tidak boleh langsung menyalahkan penelponnya.

Halo, selamat dini hari mas
Dini sama Hari sudah pulang dari tadi pak, soalnya sekarang sudah jam 1 pagi, eh.. malam, eh.. pagi.. malam…
:D

Bahasa Campur-Aduk

26 November 2008

foreverkartuas.jpg

Perhatikan pemakaian bahasa pada iklan di atas. Salah satu contoh iklan yang susunan tata bahasa Indonesia-nya dibuat runyam tanpa beban. Sejak kapan kata forever masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia? Kalau pun harus masuk dalam rangkaian kalimat, sudah seharusnya ditulis miring (italic). Alasannya pasti tak jauh dari stopping power lah, menarik perhatian lah, sesuai dengan gaya anak muda jaman sekarang, yang penting pesennya nyampe, belum pernah ada yang pake, dan beribu alasan kreatif lain (silakan ditambah sendiri).
.
iklan-doughnuts.jpg

Kebalikannya dengan iklan produk dari luar ini. Meskipun ketika menyebut nama mereknya terasa janggal di lidah, tapi justru beriklan dengan bahasa Indonesia yang baik. Cukup ironis jika kita bandingkan dengan iklan produk lokal sebelumnya yang keminggris. Memang sih tetap ada sedikit pelanggaran di kata doughnuts yang tidak ditulis miring, tapi sepertinya hal itu bisa termaafkan karena tidak dijadikan headline atau sub-headline (bahkan juga tagline). Minimal teman-teman warga asing atau anak-anak kita yang belajar Bahasa Indonesia di sekolah tidak dibuat bingung dengan susunan tata bahasa yang aneh.
.
iklan-metro.jpg

Mungkin lebih baik sekalian saja seperti ini, iklan merek luar yang beriklan dengan bahasa asing seluruhnya. Meskipun dimuat di media lokal, tapi paling tidak iklan ini tidak memberi contoh yang buruk dalam berbahasa Indonesia. Perkara pesannya sampai atau tidak ke pembaca yang bukan berbahasa Inggris itu masalah lain.

Kasihan anak-anak kita jika ada iklan campur-aduk seperti di contoh pertama. Mereka akan makin bingung dicekoki bahasanya sendiri yang babak belur dimasuki bahasa asing dengan semena-mena. Entah bagaimana jika mereka besar nanti dalam menyikapi bahasa nasionalnya sendiri yang seharusnya dapat menjadi salah satu kebanggaan bangsa. (b\w)

Bahasa Indonesia Bisa Jadi Bahasa Internasional

dari Republika online
By Republika Contributor

Selasa, 25 November 2008 pukul 15:14:00

MEDAN– Bahasa Indonesia yang juga merupakan sebagai jati diri bangsa Indonesia bisa menjadi bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Spanyol, Perancis dan China, karena sudah dipelajari para murid di puluhan negara.

Kepala Balai Bahasa Medan (BBM), Prof. Amrin Saragih mengatakan, dewasa ini Bahasa Indonesia telah dipelajari di 58 negara yang membuktikan bahasa Indonesia siap menjadi bahasa internasional.

“Setidaknya 168 institusi dari 58 negara telah mengajarkan Bahasa Indonesai kepada anak didiknya. Ini mereka lakukan sebagai salah satu upaya untuk menyambut perdagangan bebas tahun 2015,” katanya di Medan, Selasa (25/11).

Selain itu, sebagai bukti bahwa Bahasa Indonesia sangat diminati bangsa asing, kini ada sekitar 700 orang asing datang langsung ke Indonesai untuk memperdalam keahliannya.

Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed), Prof. Khairil Ansari, mengatakan, Bahasa Indonesia bila dirunut sejarahnya berbeda dengan bahasa-bahasa di negara lain ketika dikukuhkan sebagai bahasa nasional.

Saat ini banyak negara di dunia tidak dapat memilih bahasa yang terdapat di dalam negaranya sendiri untuk diangkat menjadi bahasa nasional, bila dipaksakan akan menjadi arena pertumpahan darah sesama mereka sendiri.

Contoh itu dapat dilihat di India, Filipina, Somalia dan negara di Afrika lainnya yang tidak menjadikan bahasa dari negaranya menjadi bahasa nasional, yang pada akhirnya memilih beberapa bahasa yang pemakainya lebih banyak menjadi bahasa resmi di negaranya.

Bahkan ada juga yang langsung memilih bahasa Inggris, Prancis dan Spanyol menjadi bahasa nasionalnya karena kesulitan memilih bahasa yang terdapat di negerinya akibat tidak adanya kesepakatan diantara mereka sendiri.

Melihat perjalanan sejarah yang sangat unik ini, sepantasnya masyarakat Indonesia berbangga hati dan mencintai bahasa Indonesia sebagai bagian yang melekat pada dirinya. (ant/ri)

Kata Kuncian Dari Komedian

Suka tidak suka, ternyata banyak iklan yang sukses diingat pemirsa, pendengar, atau pembaca, karena menggunakan kata-kata yang diciptakan menjadi keyword oleh para pelawak. Tukul Riyanto alias Tukul Arwana adalah fenomena salah satu komedian yang jargonnya dipakai sebagai kunci kata (kalau pakai kata kunci takut larinya malah ke password, bukannya keyword) terutama dalam iklan televisi.

Ngomongin soal keyword, tak banyak yang bisa menjelaskan tentang gabungan kata ini. Kalau sabda Wikipedia, keyword advertising refers to any advertising that is linked to specific words or phrases. Kalau tulis Kamus Encarta-nya Microsoft (Encarta World English Dictionary 1999 Microsoft Corporation) malah mengartikan key-word erat hubungannya dengan komputer. Begitu juga jika kita cari artinya di kamus Oxford: a word used in a computer system to indicate the content of a document (Colour Oxford English Dictionary 2006 Oxford University Press).

Jadi bagaimana jika kunci kata kita ganti jadi kata kuncian? Kalo nggak salah dalam salah satu permainan kartu ada istilah kuncian, yaitu kartu andalan yang biasanya dikeluarkan belakangan untuk menutup seluruh permainan sehingga kemenangan ada di tangan pemilik kartu kuncian tersebut. Dalam iklan tentunya berfungsi untuk mengunci pikiran konsumen agar ingat iklan tersebut guna kemenangan si pengiklan, yang berarti mereknya ada di top of mind konsumen, sehingga minimal bisa menghasilkan impulse buying.

Kembali ke keyword. Seiring dengan makin berkibarnya karir mas Tukul, hampir semua bahasa khas yang keluar dari mulut monyo… eh maaf, maksudnya mulut maju-nya itu laku keras dipakai oleh bermacam produk sebagai kata kuncian. Mulai dari puas, puas?! untuk produk jamu kuat pria, hingga tak sobek-sobek yang diambil oleh produk cat tembok, membuat produk-produk tersebut puas beriklan.

Sebelum Tukul katro Arwana jadi fenomena, ternyata beberapa komedian lain telah lebih dahulu berhasil menjadikan bahasa mereka sebagai kata kuncian, diantaranya adalah almarhum Basuki dengan …wes ewes ewes bablas angine! yang sukses mengantar sebuah produk jamu instan memasuki benak konsumen.

Jaman dulu juga ada sebuah produk sarung dengan talent seorang pelawak senior yang juga sudah awarahum, Asmuni, untuk menjadi model iklannya, dan mengantar iklan tersebut ke benak konsumen dengan kata: wasalam yang merupakan ciri khas almarhum Asmuni (selain kata-kata hil-hil yang mustahal, musyawaroh, dan awarahum). Konon kabarnya angka penjualan sarung tersebut meningkat sejak munculnya iklan dengan kata kuncian tersebut.

Kreativitas mengutak-atik kata para pelawak itu patut diacungi jempol, karena beberapa telah terbukti berhasil mengangkat pamor merek yang mereka bintangi. Namun iklan dengan super talent plus jargon yang kuat bisa jadi bumerang juga. Jangan sampai konsumen akan lebih ingat Tukul berkata kolor! untuk sebuah produk pewarna rambut, tapi kita tidak ingat apa mereknya. Miliaran rupiah sudah habis untuk bayar seleb yang lagi naik daun, tapi produknya tak kunjung laku, jadinya malah wasalam… :) [b\w]

tukul-jamu.jpg

keminggris

kbbismilex.jpg
Membaca liputan mingguan di Kompas yang membahas tentang orang-orang Indonesia yang sukses belajar hingga bekerja di negeri orang. Mereka yang sebenarnya juga TKI (Tenaga Kerja Indonesia), namun berada di strata yang lebih beruntung alias bekerja di luar negeri tapi bukan sebagai pekerja kasar.

Salah satunya adalah kisah Arief Budiman -kakak kandung dari tokoh mahasiswa yang kisahnya sukses difilmkan: Soe Hok Gie- yang telah puluhan tahun hidup di luar Indonesia, dan kini menjadi pengajar di sebuah universitas di Australia.

Apa yang menarik dari Arief untuk dibahas di sini? Sebagai manusia yang mungkin mimpinya pun berbahasa Inggris, ia tetap lebih memilih berbahasa Indonesia jika harus bercakap-cakap dengan sesama orang Indonesia. Rasanya nikmat sekali jika saya bisa bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, ujar dosen Satya Wacana ini.

Ternyata suami psikolog Leila CH Budiman ini tidak sendiri. Sebagian besar orang Indonesia yang telah lama tinggal di luar negeri, ataupun yang terbiasa menggunakan bahasa negara setempat, tetap merindukan berbahasa Indonesia karena merasa lebih nikmat.

Sayangnya kerinduan dan kenikmatan berbahasa Indonesia ini tidak dirasakan oleh para produsen bangsa kita. Ini terlihat dari masih banyak yang menganggap pemakaian bahasa Inggris dalam iklan mereka akan dapat meningkatkan citra merek dari produk yang diiklankan. Termasuk juga yang menganggap dengan nge-english akan dapat mengubah kelas target market dari B ke A. Ini isyu lama sih, tapi masih tetap relevan untuk terus diperbincangkan.

Orang kita saat ini lebih banyak yang ngomong pake bahasa Inggris, bahkan ABG aja sekarang juga sudah pada keminggris (baca: sok-sokan berbahasa Inggris), menurut seorang praktisi iklan. Jika keadaannya seperti itu, apakah wajar iklan yang keluar jadinya akan berbahasa Inggris, sekalipun produknya bersifat sangat lokal, iklannya sangat bermuatan lokal (local content), dan ditujukan untuk 100% orang Indonesia, di wilayah Indonesia pula?

Jika melihat kerinduan orang-orang seperti Arief Budiman yang lama tinggal di negeri orang akan bahasa Indonesia, tampaknya ke-english-an iklan lokal tersebut bisa jadi salah kostum jika ditayangkan di wilayah lokal.

Kesuksesan iklan dari Jepang dan Thailand dalam memenangkan award internasional justru karena kelokalannya, sudah tentu termasuk bahasanya. Dengan kelokalan yang kental, banyak keunikan dan kelucuan yang bisa didapat. Penanda yang paling terlihat dari sebuah kelokalan apalagi jika bukan dari bahasanya.

Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah. Sudah saatnya para pemilik produk jangan lagi ragu akan produk unik mereka yang sangat kedaerahan. Tak ada salahnya bikin iklan pake bahasa daerah, asalkan sesuai dengan target konsumennya. [b\w]

Naskah SOEMPAH PEMOEDA

merput.jpg
.
SOEMPAH PEMOEDA

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928

Dengan memakai Bahasa Indonesia, berarti kita juga menghormati para pahlawan bangsa yang telah berkorban memperjuangkan negara ini.

Mohon maaf lahir batin (tanpa “h”)

Mana yang benar Ramadhan atau Ramadan? Mohon maaf lahir bathin atau batin???
Memang secara tata bahasa Indonesia cukup ditulis tanpa 'h', tapi bagaimana pun menulisnya, tentu tidak mengurangi makna dan tujuannya, kan? Paling penting lagi adalah ketulusan si penulis atau pengirim ucapannya…

Selamat Lebaran, segala khilaf mohon dimaafkan :) 

menujukesucian2.jpg

Belajar bikin kepala garis dari Pos Kota & Kompas

WARGA: PLN KEJAM! Itulah headline yang ditulis Pos Kota awal Juli lalu, tentang ulah semena-mena oknum PLN membongkar meteran listrik dan meminta uang warga. Gaya (bahasa) disfemisme memang sejak dulu sudah menjadi ciri khas media beroplah sekitar 300 ribu eksemplar ini, selain sangat terang-terangan, gamblang, blak-blakan, juga hampir setiap kepala beritanya tampil dengan huruf full kapital.

Kontras dengan apa yang ditulis oleh Kompas di hari yang sama. Meski juga mengangkat sepak terjang pelayanan publik, namun koran yang pertama kali terbit 28 Juni 1965 ini lebih memilih membahas ketidakjelasan ketentuan izin usaha, dengan headline: Meniadakan Daerah Abu-abu. Sungguh metafora yang manis, bukan?

poskotalogo.jpg

Sebagai media yang sudah berakar kuat di masyarakat, Pos Kota dan Kompas memang sangat piawai menemukan insight pembacanya masing-masing. Secara produk satu sama lain punya keistimewaan tersendiri, tidak bisa dikomparasi plek-ketiplek apple to apple, karena jelas dari pemilihan jenis berita saja sudah tak sama. Jika pun ada berita sejenis yang sama-sama dijadikan headline, gaya penulisannya pasti akan berbeda.

Lihat, apa yang mereka tulis ketika sama-sama meng-headline-kan berita tentang kekalahan tim nasional sepakbola Indonesia pada dua pertandingan Grup D Piala Asia, bulan Juli lalu.

Ketika usai melawan Arab Saudi, Kompas pada 14 Juli 2007 menulis dengan elegan: Kalah dengan Kepala Tegak, dan masih berkompromi dengan menaruh kalimat harapan sebagai subheadline-nya: Peluang Indonesia Belum Habis. Pernyataan adem-ayem yang aman terkendali, sesuai dengan kepribadian konsumennya yang selalu mendambakan atau bahkan sudah menikmati kemapanan.
Bagaimana dengan Pos Kota? WASIT DIKUTUK! Sebuah headline yang sangat insightfull, mengingat sebagian pembaca koran yang berdiri tahun 1970 ini, adalah mereka yang ada di wilayah keras, tak mau kalah, sehingga malah menyalahkan wasit yang dianggap memihak tim lawan.

kompaslogo.jpg

Indonesia Belum Jadi Elite Asia. Lagi-lagi Kompas menuliskan headline bergaya ironi lembut untuk memberitakan kegagalan timnas Indonesia melawan Korsel, lima hari setelah kalah dengan kepala tegak. Sebaliknya Pos Kota lebih memilih sudut pandang yang nyeleneh untuk berita yang sama: SBY TAK BAWA HOKI, subheadline: 2 X NONTON 2 X KALAH. Benar-benar headline yang merefleksikan karakter segmen pembacanya.

Dari perbedaan signifikan itulah, kembali menyadarkan kita bahwa setiap produk punya konsumennya sendiri, dan sangat penting untuk mengenalinya lebih jauh sebelum merangkai k
ata guna mencuri perhatian mereka. Jika saat ini Anda sedang puyeng dikejar garis mati untuk membuat sebuah kepala garis yang pas? Silakan cari kedua koran laris ini, siapa tahu kalimat-kalimat sakti mereka bisa menjadi inspirator yang jitu. Selamat ber-headline-ria!

[ditulis dan dimuat pada bulan Agustus 2007]

Kirakira apa yang perlu di koreksikan dari judul ini ?

Ada sebuah rumah-toko di Jakarta Selatan yang di bagian depan terpampang spanduk besar bertuliskan:
DISEWA
EDY
08123456789

tentu maksudnya ruko ini sedang ditawarkan untuk disewakan, yang berminat harap menghubungi Edy di nomor ponsel yang tertera di bawahnya.
Ayah, kenapa sih om Edy itu sombong sekali? Mentang-mentang bisa nyewa toko terus pasang tulisan gede-gede, ada nomor hape-nya lagi, ujar seorang anak yang dibonceng ayahnya ketika motor mereka berhenti di depan ruko yang disewa tersebut. Si kecil benar jika menginterpretasikan kalimat itu menjadi ruko ini disewa oleh Edy karena memang itulah artinya, meskipun maksud pemasangnya tentu bukan begitu.
Agaknya pak Edy terpengaruh dengan kalimat DIJUAL dan berasumsi bahwa jika menjual memakai kata dijual, maka jika menyewakan memakai DISEWA. Ia melupakan kaidah berbahasa dan tidak memedulikan sufiks akhiran kan yang berperan besar dalam membentuk arti sebuah kata. Rasakan saja perbedaannya jika ia menuliskannya seperti ini:

DISEWAKAN
EDY
08123456789

Iklan atau promosi memang punya gaya bahasa atau majas tersendiri yang biasa disebut gaya bahasa iklan. Gaya bahasa ini tentunya tak harus dikuasai oleh para advertiser, karena di bagian kreatif pembuat iklan sudah ada yang bertugas mengolah bahasa produsen menjadi bahasa iklan. Sekalipun biro iklan punya ahli bahasa, namun sebaiknya juga pihak pengiklan (baca: klien) jangan melupakan kaidah berbahasa yang benar.
Contohnya masih ada iklan yang memakai titik di belakang lambang rupiah (Rp.100) hanya karena klien merasa tidak sreg jika tanpa titik (padahal Rp sudah jadi lambang, bukan singkatan). Ada juga yang mengira bahwa penulisan bulan November adalah bukan bahasa Indonesia, sehingga minta diganti jadi Nopember. Atau kasus spasi terhadap tanda seru, atau tanda tanya (Kok bisa ?). Lebih memilih memakai s/d untuk mengganti kata majemuk sampai dengan, daripada memakai s.d. dengan alasan Biasanya begitu!.
Menulis dalam bahasa Indonesia ternyata tidak semudah menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Perlu dibedakan antara bahasa lisan dan tulisan, antara resmi dan tidak resmi. Sayangnya pembagian bahasa seperti itu tidak diperkenalkan sejak dini. Sekarang mah boro-boro, malahan banyak sekolah yang bangga murid-muridnya lebih menguasai bahasa asing dibanding mengerti bahasa sendiri. Jika begitu, kira-kira bisa nggak mereka mengoreksi kalimat judul di atas? [b/w]