BUS WAY RASA ORANG-E




Isu tentang pemakaian bahasa Indonesia bercampur English memang bukan masalah baru, kini hampir di mana-mana hal itu terjadi karena memang tidak ada hukuman apa pun jika kita melakukannya, meski sudah ada undang-undangnya: UU No. 24 tahun 2009.

Saking sering dan terbiasanya, malahan membuat bahasa Indonesia mengalah, hingga bahasa asing tersebut akhirnya resmi masuk ke dalam keluarga besar bahasa Indonesia secara mutlak, maksudnya tidak mengalami penyesuaian lagi.

Salah satu contoh kata yang akhirnya resmi menjadi bahasa Indonesia adalah kata bus yang di KBBI Daring kita akan menemukan artinya yaitu: kendaraan bermotor angkutan umum yg besar, beroda empat atau lebih, yg dapat memuat penumpang banyak. Padahal 25 tahun lalu, kita masih menggunakan kata & tulisan bis untuk menyebut jenis angkutan umum itu. Kini kata bus tersebut ngaconya makin menjadi-jadi dengan ditambahkannya kata way menjadi bus way yang secara resmi digunakan oleh pemerintah daerah setempat di mana makhluk busway itu berada.

Bus way ini juga mengalami makna yang nggak jelas, apakah bermakna sebagai jalur bus sesuai artinya dalam bahasa Indonesia, atau istilah penyebutan jenis busnya? Karena di situ juga tertulis halte bus way yang tentunya bukan berarti halte untuk jalur bus, kan? Kalau di antara jalur bus terdapat halte untuk busnya itu benar.

Ketimpangan berbahasa ini akhirnya diikuti juga oleh warga kotanya. Salah satunya adalah pembuat iklan yang gambarnya bisa kita lihat ada di belakang jembatan halte bus way itu. Bagaimana dengan tanpa dosa membuat kalimat campur aduk BARU! Rasa ORANGE. Selain rasa jeruk, rasa apel, rasa pahit, manis, rasa pedih, sedih, kini ada rasa baru, yaitu rasa orang-e, mudah-mudahan ini bukan minuman untuk para kanibal, hehehe… [b\w]

-------

Tulisan ini diambil dari blog awal "Bahasa, please!" http://benwal.blogdetik.com (ditulis 13 Juli 2010) yang ternyata menuai banyak komentar yang juga menarik untuk dibaca. Berikut di bawah ini adalah semua komentar yang telah disalin-rekat dari sana:

  • myun 5 years ago
     
    nice post…..
    salam kenal…
    kunjungi repository unand
    terima kasih ^^
    .
    = terima kasih kembali, salam kenal & sudah berkunjung juga :)


  • Asrul 5 years ago
    Bener tuh,bahasa asing di indonesiain tanpa memandang arti sebenarnya tanpa melihat jelas, di Riau malah ada nama bus komersil yang di pakai ke luar kota namanya “superben” tau nggak dari bahasa apa aslinya??
    “sub urban!” Gila, jadi aneh banget yah
    .
    = wah, kalo bisa difoto itu bis suberben bagus banget tuh bang Asrul, bisa kita bahas di sini… :D


  • Eky 5 years ago
    Salut untuk Mas Bene dengan ulasan lugasnya mengenai ketimpangan bahasa di kampung halaman kita ini. Padahal alumni Sastra Belanda gitu loh….
    .
    = terima kasih mas Eky, lebih tepatnya lagi sy cuma ‘pernah kuliah’ di Sastra Belanda sebelum akhirnya hijrah ke jurusan grafis terus terjebak di jurusan iklan, hehehe… :D


  • bee 5 years ago
     
    @yudya:
    Tentu saja ada benar dan salah dalam berbahasa. Ada tata bahasa, kamus, peribahasa, idiom, dst, sebagai acuan kita untuk menentukan benar dan salahya kita dalam berbahasa. Apa jadinya kalo kita tidak mematuhi semua itu? Dan itu belum cukup, setelah benar dan salah masih ada lagi yaitu baku dan tidak baku (pergaulan/slang).

    Untuk bahasa pergaulan, saya sepakat kalo kita tidak perlu terlalu ketat dgn aturan berbahasa, yg penting bisa saling memahami antar yg berkomunikasi. Mungkin di sini batasan lazim tidak lazim masih ada hubungannya. Pun dalam bahasa pergaulan juga masih ada aturan dan batasan, walau mungkin tidak seketat dalam bahasa baku.

    Untuk bahasa baku, ini masalah kedisiplinan kita selaku pengguna sekaligus pemilik bahasa. Ada hubungannya juga dengan kepedulian dan kebanggaan kita untuk memelihara bahasa baku yg baik dan benar. Dalam bahasa baku, lazim atau tidak bukan hal yg perlu diutamakan. Idealnya, bahasa baku selalu lazim. Jika ada yg menganggap tidak lazim, mungkin dia sendiri yg tidak lazim dgn penggunaan bahasa baku. Dan itu adalah masalah dia, bukan masalah saya, apalagi kita.

    Apa masalahnya jika kita ganti “busway” dgn “lajur bis”, “trans” dgn “lintas”, “oran[g/y]e” dgn “jingga”, dst? Masalahnya, sebagian besar dari kita sudah tidak disiplin, tidak peduli, dan tidak bangga pada bahasa kita sendiri. Jadilah seperti kondisi saat ini: busway rasa orange. :D
    .

    = terima kasih banyak mas atas tanggapannya yg sgt jelas sekali :D



  • yudya handoko 5 years ago

    Mana kalimat yang benar dari kalimat-kalimat di bawah ini?

    1. “Saya mau pergi ke Glodok naik BUSWAY lewat TRANS JAKARTA”.
    atau
    2. “Dari Glodok ke Blok-M saya naik TRANS JAKARTA lewat BUSWAY”.
    3. “Kemarin baju saya warna COKLAT terkena noda COKLAT”
    4. “Baju saya yang berwarna KECOKLATAN kemarin terkena noda COKLAT”

    Aaaaaah bahasa tidak ada BENAR SALAH yang ada hanyalah LAZIM atau TIDAK LAZIM
    .
    = hehehe… kita sudah mendiskusikan hal ini di facebook ya mas Yudya (http://www.facebook.com/profile.php?id=621054743), kesimpulannya dari saya sih: “sesuatu yg lazim belum tentu benar, dan sesuatu yg benar juga belum tentu lazim” jadi benar-salah dlm berbahasa lebih diperlukan untuk yg baru belajar bhs Indonesia agar tidak terperosok dlm “ketidaklaziman” berbahasa, kira-kira begitu mas :D terima kasih banyak atas perhatian dan kecintaan mas Yudya terhadap bahasa Indonesia :)


  • bee 5 years ago
    Iya tuh, makin parah aja bhs Indonesia. Dan KBBI pun ikut2-an makin ngaco! Sudah bagus2 pake ‘bis’ kok ya tetep masukin ‘bus’. Gak pede banget sih tuh KBBI? Parah bener! :(

    Ngomong2 tentang bis, ada anekdot lucu. Kata tsb menunjukkan betapa kacaunya bhs Inggris. Coba perhatikan… ‘bus’ dibaca ‘bas’ artinya ‘bis’, yg punya ‘bos’. Kacau gak tuh?! Gitu kok bangga pake bhs Inggris. Hahahaha…

    Ngomong2 tentang orang-e. Saya berusaha membiasakan anak2 saya berbahasa Indonesia dgn baik dan benar sejak kecil. Termasuk juga warna. Untuk warna jeruk, saya ajarkan untuk menyebutnya sbg ‘jingga’. Coba ingat, kapan terakhir kali kita dengar kata itu?

    Ketika anak saya sudah masuk TK, gurunya mengajarkan warna jeruk sebagai ‘oreny’. Betul, persis sebagaimana kita membaca ‘orange’ dlm bhs Inggris. Parah gak sih? Masih mending kalo dibaca ‘oranye’. Untungnya anak saya dgn pede menyalahkan gurunya. Katanya, “Bu.. bukan oreny, tapi jingga!”. Hahahaha… kapokmu kapan bu guru?! :D
    .

    = hebat, keren mas, salut bgt sama kecintaannya kpd bhs Indonesia yg ditularkan ke sang junior! guru-guru ngenglish gitu emang musti diberi pelajaran tentang bagaimana mencintai bangsanya, jgn asal ngajar aja… :D

Ucapan Duka Kenapa Musti Pakai Cita?

Sebenarnya ide tulisan ini adalah dari rubrik bahasa harian Kompas pada tanggal 7 Mei 2010. Di rubrik yang berjudul “Bahasa dan Kematian” itu sang penulis, Samsudin Berlian, memaparkan tentang berbagai bahasa yang dipakai oleh agama-agama yang ada di Indonesia ini. Sayang, pak Berlian tidak membahas tentang bahasa pasaran umum yang hampir selalu dipakai ketika kita melayat: “Turut berduka cita!”

Nah, ini dia… kenapa juga ungkapan berduka musti diakhiri dengan kata “cita”? Bukankah kata ‘cita’ itu lebih mengarah ke keadaan yang gembira? Kalau begitu mari kita lihat KBBI Daring tentang kata ‘cita’ yang ternyata punya dua arti:

cita (1) n 1 rasa; perasaan hati; 2 kl cipta; 3 cita-cita; 4 cinta; 5 ide; gagasan;
rasa 1 rasa spt rasa lezat, sedap; 2 Tern derajat penerimaan ternak thd bahan makanan atau ransum;
cita-cita n 1 keinginan (kehendak) yg selalu ada di dl pikiran: ia berusaha mencapai ~ nya untuk menjadi petani yg baik; 2 tujuan yg sempurna (yg akan dicapai atau dilaksanakan): untuk mewujudkan ~ nasional kita, kepentingan pribadi harus dikesampingkan;
bercita-cita v 1 berkeinginan sungguh-sungguh: ia ~ mendirikan rumah sakit untuk rakyat; 2 mempunyai tujuan yg sempurna: bangsa yg ~ luhur;
mencita kl v menciptakan (membuat sesuatu dng kekuatan batin): dapatlah ia ~ negeri dng selengkapnya itu;

mencita-citakan v 1 menginginkan (menghendaki) dng sungguh-sungguh: sikap kritis objektif sangat diperlukan dl masyarakat yg ~ demokrasi; 2 membayangkan sesuatu kpd: mereka selalu ~ dunia baru yg segala-galanya aman dan senang; 3 menjadikan sbg tujuan (akhir): rakyat ~ masyarakat adil dan makmur segera terjelma

cita (2) n kain tenun dr kapas dsb yg berbunga-bunga atau berwarna-warni (biasanya untuk bahan baju dsb);
sayur cita yg kurang baik

Jika melihat arti kata ‘cita’ dari KBBI, jelas sekali kan bahwa sebuah ucapan duka menjadi punya makna yang agak aneh jika ditambahkan kata ini. Turut berduka & ikut belasungkawa mungkin adalah kalimat yang cocok untuk mengganti dukacita, selain tentunya Innalillahi dan ucapan-ucapan khusus yang lain seperti yang ditulis Samsudin Berlian.

Mungkin karena adanya istilah ’suka cita’ banyak yang berpikiran jika ada ’suka’ tentu juga ada ‘duka’, sehingga timbul istilah ‘duka cita’. :) [b\w]

------------

Tulisan ini diambil dari blog awal "Bahasa, please!" http://benwal.blogdetik.com (ditulis 9 Mei 2010) yang ternyata menuai banyak komentar yang juga menarik untuk dibaca. Berikut di bawah ini adalah semua komentar yang telah disalin-rekat dari sana:

  • benwal 2 years ago
    terima kasih sudah mampir, silakan lihat di arti kata ‘cita’ menurut KBBI, semoga nama anaknya sesuai yg diharapkan :)
  • Plaza Modis 2 years ago
    Lagi pengen cari arti nama ‘cita’ buat anak larinya malah ke sini, hihi,..permisi ya
  • Toko Bunga 2 years ago
    batul..batul…batul
  • bunga duka cita 3 years ago
    OK gan, mantap..setuju
  • benwal 5 years ago
    terima kasih buat semua yg sudah sudi meninggalkan guratan komennya di sini… :)
  • keyboard yamaha 5 years ago
    wahq baru tw nih
  • parfum murah 5 years ago
    wah..
    makasi banyak infonya gan..
  • jual laptop 5 years ago
    info mu apik gan
  • jual pulsa 5 years ago
    makasih infonya
  • echa 6 years ago
    *liat komen2 diatas aja*
    blogwalking :) slam kenal
  • gambarmodifikasi 6 years ago
    setuju sekali dengan komentarnya …
  • benwal 6 years ago
    ‘kesepakatannya’ sih masih, hanya saja secara pribadi, ga tau kenapa, sy lebih sreg ga pake ‘cita’ :)
  • nonadita 6 years ago
    Jadi ucapan “Saya ikut berdukacita atas musibah yang anda alami”, masih boleh dipake ya? :mrgreen:
  • benwal 6 years ago
    Terima kasih atas semua komentarnya, memang pada akhirnya bahasa adalah sebuah kesepakatan antar pemakainya, dalam kasus ini jika memang kita semua sepakat untuk menerima kata “dukacita” berarti kata itu resmi secara tidak langsung bagi pemakainya.
    Benar apa yg dibilang mas Bee, mungkin perasaan saya saja yang menganggap kata ‘cita’ melambangkan sebuah suasana bahagia/ceria, karena ternyata secara arti bisa dipakai bersama kata ‘duka’ (’perasaan hati’), hehe…
    Yang jelas kini saya bersukacita karena ternyata masih banyak yang peduli dan cinta terhadap bahasa Indonesia, terima kasih :)
  • agnes 6 years ago
    saya setuju dengan bee, bahwa kata ‘cita’ memiliki arti yang netral.
    Bila dilihat dari definisi pertama yaitu 1 rasa; perasaan hati; maka kalimat turut berduka cita dapat diartikan: turut merasa berduka.
  • Zack 6 years ago
    YSH Teman-teman
    Saya setuju dengan pendapat Bee, cita itu netral, dapat mendampingi duka maupun suka, dengan makna yang berbeda apabila disandingkan pada kata suka dan duka: Rasa suka dan rasa duka
  • suryaafnarius 6 years ago
    Saya setuju dengan bee, mas….
    Surya Afnarius
    Blog Unand Saya
  • haerulsohib 6 years ago
    mmmhhh….mungkin “duka cita” itu seperti idiom, bersatu padu membentuk arti yang lebih bermakna, *ini pendapatku aja ya….oke piss….dah….
  • jarot 6 years ago
    ya nggak ada yg salah donk dari duka cita, kalau merujuk ke
    “cita (1) n 1 rasa; perasaan hati”
    karena memang turut berduka (perasaan hati ) cita.
  • bee 6 years ago
    Saya kurang sepakat, mas. Coba diperhatikan lagi KBBI-nya. Menurut saya makna ‘cita’ cenderung netral dan cocok saja disandingkan dgn kata ‘duka’ maupun ’suka’.
    Kata ‘cita’ dalam ’suka cita’ atau ‘duka cita’ mirip dgn kata ‘rasa’ dalam ‘rasa manis’ atau ‘rasa pahit’ atau ‘rasa senang’ atau ‘rasa sedih’. Kata ‘rasa’ sifatnya netral yg kemudian ditegaskan dgn kata selanjutnya. Kata ‘rasa’ dalam contoh2 di atas juga bisa dibuang tanpa mengurangi makna krn toh semua orang paham bahwa kata ‘manis’, ‘pahit’, ’senang’, ’sedih’ itu berkaitan dgn rasa.
    Jadi, menurut saya, makna kata ‘cita’ yg cenderung mengarah ke keadaan gembira hanya perasaan mas Benwal saja. Kalo kata ‘ria’, saya sepakat. Kata ‘duka ria’ memang terdengar janggal. :D
  • Diah 6 years ago
    Kalau begitu, dibakukan saja kata “bersuka-ria”, jadi kata duka tak bisa ikut-ikutan dengan “berduka-ria” ;)
  • ali hasan 6 years ago
    Arti kata cita pada kamus yang anda kutip kan jelas :
    1. cita = rasa,perasaan hati
    Jadi justru tepat kalau kita mengungkapkan duka dengan berduka-cita , artinya berperasaan duka
    AH
  • arik 6 years ago
    Pemakaian kata duka cita tidak ada salahnya kok. Itu hanya sebuah ungkapan dan harapan.
    Dalam bahasa awam bisa dikatakan, jika habis berduka diharapkan cita yang didapat.
    Dalam pengertian ruhaniah pun orang yang meninggal adalah tentunya menghadap Ilahi ; Yang Maha Kuasa. Ini adalah sebuah cita dari duka yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan.
  • nonaManis 6 years ago
    betul mas,
    lebih baik bilang turut berduka :)
  • irma 6 years ago
    Jadi begitu ya.. Trims infonya.. :) http://nicefine.net
  • Paulus Herlambang 6 years ago
    Arti pertama ‘cita (1)’ adalah: rasa; perasaan hati. Jadi, dukacita artinya ‘rasa duka’ atau ‘perasaan hati berduka’.
    Cara penulisan kata ‘dukacita’ dan ’sukacita’, menurut KBBI, disambung (satu kata, bukan dua kata).
    Kita bisa mengucapkan: “turut berdukacita” atau “turut berduka” saja kalau gak mau terlalu panjang (dua-duanya benar)

car free day = mobil bebas hari?

Supir taksi kok nggak tahu yang namanya car free day! tulis seorang teman di jaringan Twitter. Memang agak aneh jika seorang supir yang setiap hari hidupnya ada di jalan bisa tidak tahu yang namanya car free day, yang sangat berhubungan dengan bidang pekerjaannya.

Apa sih car free day itu? Dalam bahasa Indonesia terjemahan bebasnya adalah Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Sebuah program dunia yang bertujuan menekan polusi yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor. Bermula di negara-negara kawasan Eropa pada akhir dekade 90-an (1997 2000) dan mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2007, tepatnya di uji coba di DKI Jakarta pada bulan Juni.

Lalu, mengapa sang pengemudi taksi itu tidak tahu akan adanya car free day? Kemungkinannya banyak, bisa jadi karena dia anak baru di dunia pertaksian Jakarta, mungkin juga dia adalah orang yang masa bodoh dengan lingkungan sekitar, atau karena tidak tahu apa artinya car free day?

Car free day (mobil bebas hari? ;p), atau Hari Bebas Kendaraan Bermotor di ibukota resmi dicanangkan oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta sejak tahun 2007. Entah kenapa bangsa ini malas sekali membuat atau memakai nama Indonesia bahkan dalam urusan resmi untuk banyak orang seperti ini. Bapak-bapak pejabat itu pun mengumumkan program ini dengan bahasa aslinya.
 
Apa yang salah ya dengan Hari Bebas Kendaraan bermotor? Kalau memang kepanjangan, kenapa tidak pakai singkatannya (HBKB)? Atau kalau mau agak capek dikit, mari dicari akronimnya! HARBOR, RIBKOR, BASMOR, atau Anti RANMOR? Hehehe, yang penting lebih dimengerti semua kalangan, sehingga tak ada lagi pengemudi RANUM (kendaraan umum) yang tak tahu apa itu karfrideieniweibaswei… ;p [b\w]

Amprokan Blogger

13 Maret 2010

Mungkin sudah agak telat blog ini menulis tentang judul di atas, tapi nggak juga sih, karena memang blog ini bukanlah sumber berita yang segalanya perlu aktual, bukan? Memangnya apa sih Amprokan Blogger itu? Nah, temukan jawabannya di sini: http://amprokanblogger.com/ mohon maaf kalau harus menjelajah lagi karena blog ini memang agak cupet pembahasannya, ya cuma tentang bahasa :D

Berarti bakalan ngebahas apa itu kata amprokan? Betul sekali, dan hal itu juga sebenarnya sudah berkali-kali dibahas oleh penggagas dan panitia acara tersebut (bagi pembaca yang ikutan acaranya), bahwa kata amprokan konon diambil dari bahasa Bekasi yang merupakan campuran Betawi & Sunda, yang artinya berkumpul, atau bahasa lisannya ngamprok. Penggambarannya kurang lebih adalah sebuah situasi rame-rame pada ngumpul di suatu tempat dengan kondisi duduk ngamprok/lesehan di bawah (tanpa kursi).

Tapi beda lagi pengertiannya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI dalam jaringan), kalo amprokan kata dasarnya adalah amprok, artinya adalah: bersua secara tiba-tiba di tengah jalan atau di tempat lain. Hiyaa sangat tidak cocok dengan maksud dan tujuan acaranya ya? Meski pengertian bersuanya sih bisa diambil, tapi ketika ada secara tiba-tiba di tengah jalan? Mosok acara yang mengundang para narablog se Indonesia ini diadakan tiba-tiba di tengah jalan?

Yah, mungkin memang kata amprokan itu adalah kata khas Bekasi yang belum terdokumentasikan. Perlu orang-orang berdedikasi tinggi untuk menggali lebih dalam tentang bahasa khas Bekasi yang penduduk aslinya memang merupakan campuran dua suku Sunda dan Betawi. Jika sudah terdata dengan baik, bukan tak mungkin dapat memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia yang makin hari makin banyak diserbu oleh kosa kata asing. Salut dan apresiasi yang tinggi terhadap penggunaan bahasa lokal di acara berskala nasional, sangat lebih beradab ketimbang menggunakan bahasa asing internasional untuk acara yang sifatnya sangat nasional. [b\w]

Tahun Baru Jigo Lak It (2561)

14 Februari 2010

Menyambut Tahun Baru Imlek, kita kembali diingatkan akan peran etnis Cina dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bagi warga etnis Betawi, kata-kata penyebutan untuk nilai rupiah dalam bahasa Cina sudah menjadi bagian dari budaya berbahasa mereka. Dahulu ketika masih ada nilai uang Rp5 (lima rupiah), orang Betawi biasa menyebutnya ‘go tun’, lalu ‘cap tun’ untuk Rp10 (sepuluh rupiah), ‘ji go’ untuk Rp 25 atau ‘ji go tun’ (dua puluh lima perak, kata ‘tun’ sama dengan perak/rupiah).

Ternyata, menurut sebuah situs bernama Web Gopek www.webgopek.com (gopek = lima ratus), bahasa penyebut angka tersebut aslinya adalah bahasa Hokien yang telah mengalami proses ‘pembetawian’ atau proses adopsi dengan bahasa Melayu-Betawi, sehingga memungkinkan untuk dilafalkan oleh warga etnis Betawi atau Melayu. Di dalam situs itu pula jelas ditulis urut-urutan penyebutan Cina untuk angka-angka mulai dari ‘tun’ untuk perak, ‘pek’ untuk ratusan, ‘ceng’ untuk ribuan, ‘ban’ untuk puluhan ribu, dan ‘tiao’ untuk jutaan.

Tapi kenapa hanya penyebutan angka-angka saja yang bisa beradaptasi dengan bahasa Melayu Indonesia? Ini sudah pasti karena memang struktur bahasa Cina itu sangat jauh berbeda dengan Melayu sehingga tak mudah dilafalkan, dan ini juga sangat berhubungan dengan posisi etnis Cina ketika itu yang sangat menguasai sektor perdagangan, sehingga istilah-istlah yang sangat berhubungan dengan transaksi daganglah yang lebih cepat diserap.

Cukup mengagetkan ketika mengetahui bahwa ternyata kata ‘gopek’ masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia daring yang artinya memang lima ratus. Sementara kata ‘Cina’ di KBBI daring ada yang aneh, selain memang kata Cina berarti nama sebuah negeri dan bangsa, ada satu istilah di situ yaitu ‘cina buta‘ yang artinya: orang yg menikahi perempuan dng dibayar (supaya perempuan itu setelah dicerai dapat kawin lagi dng bekas suaminya yg telah tiga kali menalaknya). Nah lho, kok bisa begitu ya artinya?

Namun pastinya, asimilasi budaya antara etnis Cina dan Indonesia Nusantara sesungguhnya sudah berlangsung lama, hanya saja para manusia kolonialis Eropa/Belanda sengaja memberi jarak sehingga timbul istilah ‘cina’ dan ‘pribumi’ yang sebetulnya tidak pernah ada, dan seharusnya tidak terjadi.

Selamat Tahun Baru Imlek 2561 (jigo lak it?).

Statusnya Kata 'Status'

salah satu contoh status di sosial media
Berapa kali kira-kira kita menemukan, membaca, memikirkan, atau bahkan menulis atau mengucapkan kata status dalam sehari? Buat orang yg hari-harinya tak lepas dari dunia maya (tanpa sari), apalagi ditambah fenomena Blackberry dengan Facebook dan Twitter-nya, kata ini sudah jadi hiasan tetap di dalam pikiran mereka, setiap saat.

Kata status dalam bahasa Indonesia sepertinya sudah sangat berkembang artinya, sudah tak cocok lagi dengan arti harafiahnya seperti di bawah ini (dari KBBI Daring):

status n keadaan atau kedudukan (orang, badan, dsb) dl hubungan dng masyarakat di sekelilingnya;
berstatus v mempunyai status (sbg); berkedudukan: ayahnya - (sbg) pimpinan sementara di kantornya

Padahal sehari-hari kita memakainya lebih dari sekadar berhubungan dengan keadaan masyarakat dan lingkungannya. Contohnya ketika ada seorang boss yang menanyakan sudah sampai mana pekerjaan yang dilakukan oleh anak buahnya: Status kerjaan kamu udah sampe mana? Nah loh! Ada lagi tuh yang mengaitkan status dengan jarak dan tempat: sudah sampai mana?

Nggak usah jauh-jauh lah, kita lihat saja KTP masing-masing, di situ akan kita temukan tulisan Status perkawinan. Tapi kalau ini masih bisa tepat, karena artinya adalah bagaimana keadaan atau kedudukan perkawinan si orang yang namanya ada di KTP tersebut sehingga masyarakat sekelilingnya mengetahui bahwa dia sudah atau belum kawin etdaah… panjang benerrr…

Status di dalam bahasa Indonesia lebih tepat jika disamakan dengan kata kondisi yang artinya dalam KBBI Daring adalah persyaratan atau keadaan. Tapi kini status lebih banyak merupakan sebuah pernyataan dari seseorang, atau sebuah institusi. Apalagi jika kita lihat yang namanya status di jejaring sosial internet saat ini, sungguh luas artinya.

Di Facebook, kita akan menemukan yang namanya status itu tak hanya tulisan yang menggambarkan kondisi keadaan si pemiliknya, tapi juga bisa berupa doa, harapan, umpatan kekesalan, opini, bahkan ada yang informasi tentang warna bra yang sedang dipakainya, hehehe. Kalau sudah begini, arti status bukan lagi kondisi, keadaan, kedudukan, atau malah persyaratan, tapi sudah menjadi sebuah tulisan berupa kata atau kalimat yang bisa berarti apa saja. Statusnya kata status saat ini sudah lebih dari sekadar status. Haiyaah apa siih, gitu aja kok repot (mengenang alm. Gus Dur)… [b\w]