Banjir iklan, iklan banjir

Banjir. Sebuah kata yang sedang naik daun. Pamornya mulai mengalahkan kata korupsi, atau mungkin mulai menenggelamkan kata-kata Adam Air yang sebelumnya juga banyak disebut-sebut karena diduga tenggelam. Sungguh cerdik si banjir memilih cara untuk menegaskan eksistensi dirinya, yaitu dengan mendatangi hampir seluruh wilayah ibukota RI, sehingga ia meraup kesuksesan luar biasa dan jadi pembicaraan di mana-mana.

Banjir, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merupakan sebuah kata kerja (verb), yang memiliki arti: berair banyak dan deras, air yang banyak dan mengalir deras, atau peristiwa terbenamnya daratan yang biasanya kering karena volume air yang meningkat. Tapi kata banjir juga merupakan kata kiasan yang berarti datang (ada) banyak sekali dan inilah yang membuat banjir sering dieksploitir menjadi iklan.

Banjir, ternyata bisa juga dipakai untuk memberitahu konsumen bahwa ada hadiah jika beli sebuah produk yang sedang promo: "Banjir hadiah!" Atau "Banjirilah segera!" untuk mengajak konsumen agar berbondong-bondong datang. Dalam hal ini, banjir bersaing ketat dengan saudaranya yaitu kata hujan. 'Hujan hadiah!" masih enak terdengar, tapi jika "Hujanilah segera!" sepertinya agak aneh ya?

Banjir cukup efektif untuk meyakinkan konsumen akan keandalan sebuah produk. Beberapa produk otomotif pernah terang-terangan melakukan gerakan cepat tanggap, yaitu dengan membuat iklan yang memotret keadaan mobil mereka sedang melaju gagah berani membelah banjir. "Makanya beli donk mobil ini, biar nggak susah kalo musim banjir ginii!" begitulah kira-kira iklan tersebut "berteriak" lantang.

Banjir mampu dengan ciamik mengangkat citra perusahaan jadi semakin baik di mata konsumen. Seperti yang waktu itu dilakukan oleh sebuah perusahaan asuransi mobil di kala menjelang musim hujan, yaitu dengan mengeluarkan iklan berisi beberapa tips bagi pemilik kendaraan atau pengemudi untuk menghindari atau menghadapi banjir. Seri iklan berikutnya sungguh membuat konsumen makin jatuh cinta, di mana terlihat petugas mereka sedang menolong kendaraan milik konsumen yang sedang mogok ditengah banjir. Ooh... so sweet, ya?

Banjir punya banyak penggemar. Terbanyak adalah dari kalangan perusahaan properti. Biasanya iklan properti selain menawarkan harga dan fasilitas, juga menempatkan sang banjir pada tempat istimewa di lay-out. Bahkan ada yang mempersilakannya menutupi visual-visual penting dalam iklan tersebut, asalkan banjir selalu berkolaburasi dengan kata-kata lain sehingga menjalin sebuah kalimat wajib: "Lokasi Bebas Banjir!"

Pada musim banjir, iklan-iklan berlatar banjir semakin membanjir, mulai dari iklan sepatu boot, hingga produk sabun kesehatan. Jika dikemas dengan baik, tentunya iklan-iklan (bertema) banjir itu tidak menjadi iklan yang dibenci seperti layaknya musibah banjir. Ayo! Banjirilah ranah iklan ini dengan "iklan banjir" yang baik! Tapi, seperti apa sih "iklan banjir" yang baik? Mungkin bisa ditanyakan pada rumput yang bergoyang, dengan catatan jika rumputnya masih hidup, belum kena banjir! [b\w] (benwal.blogdetik 01/08/2008)


(AdDiction 070307)

Hati-hati ber(bahasa) iklan!

Seorang pembaca Kompas (29/7/2006) mengirim surat dan dimuat di kolom Redaksi Yth. Ia bercerita tentang anaknya yang berumur tiga tahunan, bertanya dengan serius, "Pak, motor itu juga manusia ya?"
"Motor itu ya motor bukan manusia."
"Lha itu yang diiklan teve..."

Ada kisah lain lagi, dituturkan seorang ayah yang punya anak berumur sekitar lima tahun. Istrinya, ibu si anak, sedang berulang tahun. Dengan santainya si anak bilang ke ayahnya, "Pa, aku mau beli Irex di mana ya, buat kado ulang tahun mama?"

Ternyata tidak semua orang punya persepsi bahasa yang sama. Anak-anak kecil adalah kalangan yang paling polos dalam menyerap dan mengartikan sebuah kalimat. Waktu bikinnya mungkin si kreator iklan tak mengira bakal direspon begitu oleh mereka.

Sepeda motor diibaratkan manusia yang perlu perawatan yang baik agar sehat, jadi motor Honda tak sering sakit jika menggunakan onderdil asli keluaran Astra. Dipakainya motor juga manusia kemungkinan bertujuan menggambarkan hal itu sekaligus memenangkan pikiran konsumen alias biar nancep di urutan teratas otak konsumen, karena merupakan plesetan dari sebuah lagu terkenal yang dinyanyikan grup musik top yang juga jadi bintang iklannya.

Slogan kado istimewa untuk mama yang diangkat oleh Irex, produk keperkasaan pria itu, mungkin bertujuan untuk memperkuat posisinya sebagai sesuatu yang benar-benar bisa membuat istri (baca: mama) jadi puas sehingga tepat untuk dijadikan kado istimewa di hari ulang tahun mama. Sebuah cara halus non-vulgar untuk mengatakan keunggulan produknya.

Iklan-iklan tersebut hanya sebagian dari beberapa yang memiliki gosip di dalam berbahasa. Tak ada yang salah memang jika sebuah iklan punya bahasa yang agak gimana gitu. Namanya juga iklan. Berbagai pembatasan berbahasa di dalam iklan -- tidak boleh menggunakan kata superlatif: ter-, hanya, satu-satunya, paling, dan batasan-batasan yang lain -- rupanya belum cukup untuk "menyiksa" para kreator iklan agar menghasilkan karya pariwara yang baik. Ketika aturan berbahasa itu sudah dilaksanakan dengan sangat hati-hati, ternyata masih harus dilihat secara komunikasi apakah sudah tepat sasaran. Giliran sudah tepat sasaran, ternyata ada dampak yang diluar dugaan. Seperti dua contoh respon iklan di atas.

"Iklan kan nggak dibuat untuk semua orang, jadi kalo bahasanya sudah sesuai dan dimengerti oleh target market produk yang diiklanin, itu udah bener!" kata seorang praktisi iklan senior. Iya sih, tapi apa salahnya untuk tetap berhati-hati dalam berbahasa, biar iklannya makin bener. [b\w] (benwal.blogdetik 31/07/2008)


(AdDiction 050906)

Whats wrong denganmu, oh my bahasa?

Indulge itu apa ya? tanya seorang teman setelah ia melihat sebuah iklan di koran. Ternyata kata indulge yang dalam bahasa Indonesia berarti: menurut suka hatinya, memperturutkan hati (sumber: www.kamus.net), ada dalam awal kalimat sebuah headline iklan kendaraan buatan Jepang.

Kebetulan teman pengusaha restoran yang sukses ini memang hendak membeli mobil, sehingga rajin lihat-lihat iklan mobil. Ketika ia menemukan iklan salah satu mobil dambaannya namun mengalami kesulitan memahami apa yang hendak ditawarkan oleh iklannya, ia malah jadi tak merasa perlu untuk membeli merek tersebut. Meskipun sebenarnya iklan itu juga memiliki badan naskah (baca: body copy) berbahasa Indonesia yang dapat dimengerti, tapi dia sudah terlanjur malas membacanya.

Sepertinya lagi marak iklan-iklan di media cetak yang bergaya campuran begitu. Hampir setiap hari kita bisa lihat di koran iklan-iklan yang punya kepala tulisan (baca: headline) berbahasa asing dan berbadan bahasa Indonesia, atau bahkan di kepalanya sudah campuran. Contohnya saat puasa dan Lebaran: Buffet Buka Puasa, Lebaran Sale, Lebaran Great Promo, Up to 50% Off! dan masih banyak lagi.

Iklan di media berbahasa Indonesia, pastinya dibaca oleh orang yang sehari-hari berbahasa Indonesia, kenapa harus pakai bahasa Inggris? Apa salahmu wahai Bahasa Indonesia? Apakah orang Indonesia yang banyak duit selalu berbahasa asing jika berbicara setiap hari? Sehingga perlu berbahasa Inggris untuk menjaring mereka agar tergoda dengan produk yang diiklankan (padahal kenyataannya tidak juga, contohnya si pengusaha sukses seperti ilustrasi di atas). Atau karena bahasa Indonesia sudah benar-benar tiada berharga di mata penggunanya sendiri?

Ayo jalan-jalan sebentar ke Paris, Perancis. Masuklah ke beberapa toko mode terkenal seperti: Lafayette, Paris Look, atau gerai parfum France & Monde. Jangan kaget kalau tiba-tiba kita disapa oleh pramuniaganya dengan bahasa Indonesia. Begitu pula di Amsterdam, Belanda. Gassan Diamonds salah satu toko berlian terkenal di sana juga punya karyawan khusus yang berbahasa Indonesia untuk menyambut konsumen dari Nusantara. Ternyata bahasa Indonesia lebih dihargai di sana!

Jika alasannya lebih keren pakai kata buffet ketimbang prasmanan, kata great sale yang lebih kedengeran oke ketimbang obral besar, atau istilah up to 50% off yang lebih menunjukkan kelasnya ketimbang potongan harga 50%! Yo wis lah, lagi-lagi masalah kebiasaan. Padahal jika dilihat dari efektifitas dan keberhasilan iklannya merengkuh konsumen, belum tentu tepat juga. Mungkin kalau dari dulu kita semua terbiasa menghargai dan lebih suka berbahasa Indonesia, serta percaya diri bertutur dengan bahasa negeri sendiri, bahasa iklan-iklan kita tidak lagi terdistorsi seperti sekarang ini. Sungguh malang nasibmu oh bahasaku... [b\w] (post di benwal.blogdetik 25/07/2008)

Majalah AdDiction edisi 08/05/2007