Apakah Blog Ini Melanggar UU Juga?

29 Oktober 2009



Blogger of the week

Sejak ada beberapa kejadian ditangkapnya para penggiat dunia maya karena dianggap melanggar Undang-undang Informasi & Transaksi Elektronik (UU ITE), kok rasanya beraktivitas lewat internet jadi terasa nggak begitu nyaman ya? Tapi selama kita tidak melanggar apa pun ya ga perlu resah dan gelisah juga sih…

Lalu bagaimana dengan blog Bahasa, please! ini? Sudah jelas kalau blog ini melanggar UU, alias kepanjangan dari ‘Uneg-Uneg’, asal kata dari bahasa Jawa yang artinya kurang lebih ‘curahan hati’ hehe… Kenapa melanggar? Karena memang sebagian tulisan di blog ini yang seharusnya khusus membahas tentang serba-serbi berbahasa sesuai slogannya di atas, seringkali dipengaruhi oleh ‘uneg-uneg’ itu tadi. Melanggar uneg-uneg karena ‘mempolitisir’ si uneg-uneg itu menjadi topik tulisan… bingung kan? Sama dong…

Tapi ternyata pelanggaran UU (uneg-uneg) itu justru ditangkap oleh pihak sang empunya domain (blogdetik.com) yang mengutus aparatnya yang bernama Karmin Winarta untuk ‘mengintimidasi’ pengasuh blog ini agar pelanggaran UU itu makin menjadi-jadi… hahaha, ga percaya? Silakan lihat betapa Uneg-Uneg itu dilanggar habis-habisan di sini hehehe

Trims ya mas Karmin, semoga kebaikan Anda dibalas Tuhan dan Alam Semesta :D

Apakah Presiden RI melanggar UU No. 24 Tahun 2009?

26 Oktober 2009

presidenrias

Jangan salah, meski judulnya tentang pelanggaran Undang-undang, tapi tulisan ini tidak akan membahas tentang politik, karena memang UU No. 24 Tahun 2009 itu adalah UU tentang BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN. Bahasa Indonesia menempati Bab 3, terdiri dari 20 pasal (pasal 25 hingga pasal 45). UU tersebut bisa diunduh di sini

Pelantikan Presiden Republik Indonesia baru saja berlangsung (20/10/2009), yang langsung diikuti dengan pelantikan para menterinya selang beberapa hari kemudian. Dalam rangka membekali para pembantunya tersebut, Presiden SBY dalam sidang kabinet paripurna pertama periode kedua pemerintahannya Jumat (23/10/2009) lalu, memberi slogan atau semboyan bagi para menterinya.

Slogan pertama adalah Change and Continuity (perubahan dan keberlanjutan), kedua adalah De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement (penguraian hambatan, percepatan, dan peningkatan), dan ketiga Unity, Together We Can (bersatu, bersama kita bisa). Lalu, memangnya ada yang aneh dengan slogan-slogan tersebut? Sama sekali tidak, hanya saja mengapa Presiden menyampaikan dan memetapkannya tidak dengan bahasa negerinya sendiri? Padahal ia tidak sedang berbicara di depan pers asing.

Kita semua yakin, para menteri dipilih karena mereka memiliki pendidikan yang baik, sehingga tak mungkin tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi sampai di mana letak kebanggaan seorang Presiden akan bahasanya sendiri? Siapa lagi yang akan merasa bangga terhadap bahasa nasionalnya kalau bukan kita?

Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2009
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.

Jika mencermati isi dari Pasal 28 tersebut di atas, maka boleh dikatakan Presiden RI pada hari itu sedang melakukan pelanggaran konstitusi, atau sedang melakukan tindakan inkonstitusional. Namun, siapa yang mau peduli? Apalagi melakukan tuntutan hukum! :D

Bahasa Indonesia yang telah berjasa besar menyatukan ribuan suku di Nusantara ini (yang memiliki bahasa daerahnya masing-masing), rupanya tidak dianggap oleh pemimpin negaranya sendiri. Dia lebih bangga, lebih suka, lebih pede ternyata jika memakai bahasa asing, meski berbicara dengan bangsanya sendiri. Sungguh malang nasibmu bahasaku. (b\w)

Penyebutan Gelar dan Penulisan Singkatan Doktor


Penggunaan Bahasa Indonesia Memprihatinkan

Tulisan ini diambil dari harian Kompas 29 September 2009

Penggunaan Bahasa Indonesia Memprihatinkan
Penggunaan bahasa Indonesia dalam lingkup kehidupan masih memprihatinkan. Banyaknya penggunaan bahasa asing untuk nama tempat usaha ataupun bangunan menunjukkan hal itu. Kepala Balai Bahasa Yogyakarta Tirto Suwondo mengatakan, bahasa dan istilah asing masih marak digunakan di berbagai tempat usaha. Penggunaan istilah asing ini terutama digunakan di tempat usaha yang dibuka oleh anak muda. 
Selain nama, sejumlah istilah asing yang semakin lazim digunakan di antaranya laundry untuk usaha pencucian baju, minimarket untuk swalayan, atau bakery untuk toko roti. Nama asing juga banyak digunakan dalam nama restoran, hotel, ataupun rumah peristirahatan. Menurut Tirto, sebagian besar penggunaan nama dan istilah asing ini dengan alasan lebih menjual. Penggunaan bahasa Indonesia harus lebih dibiasakan lagi, ujarnya di Yogyakarta, Senin (28/9). 
Balai Bahasa Yogyakarta sudah berulang kali melayangkan surat imbauan kepada pemilik usaha untuk mengganti istilah asing dengan bahasa Indonesia. Imbauan tersebut juga selalu disertai dengan saran penggunaan istilah dalam bahasa Indonesia yang benar. Namun, surat tersebut jarang memperoleh tanggapan positif. Tirto mengatakan, tindakan tegas terhadap pelanggaran Undang-Undang Bahasa masih menemui kendala karena belum ada dasar hukum mengenai sanksi pelanggaran. 
Meskipun telah disahkan pada Juli lalu, UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan belum mengatur sanksi untuk pelanggaran itu. Untuk menegakkan penggunaan bahasa Indonesia, pemerintah perlu segera membuat peraturan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah. (IRE)

Idul FITRI atau Idul FITRAH?

Jumat terakhir di Ramadan tahun ini (18/9/09) ternyata memberikan pencerahan akan arti harafiah dari Idul Fitri. Menurut khotib shalat Jumat waktu itu, pengertian Idul Fitri secara bahasa (Arab) sebenarnya adalah kembali tidak puasa atau kembali (boleh) makan sehingga masih menurut pak khotib, penyebutan yang seharusnya adalah Idul Fitrah, karena fitrah artinya suci.

Artinya di dalam bahasa Indonesia kurang lebih akan sama. Jika kita buka KBBI, untuk kata fitri ada dua pengertian, fitri (1): 1 berhubungan dng fitrah (sifat asal); 2 berhubungan dng berbuka puasa. Sedang untuk fitri (2): kesederhanaan; hal yg tidak dibuat-buat.

Untuk kata fitrah juga ada dua, fitrah (1): sifat asal; kesucian; bakat; pembawaan. Sementara untuk fitrah (2): sedekah wajib berupa bahan makanan pokok (beras, gandum, dsb) yg harus diberikan pd akhir bulan Ramadan (malam sebelum satu Syawal sampai sebelum dimulai salat Idulfitri); zakat fitrah;
berfitrah v memberikan fitrah: yg mampu wajib ~ , sedangkan yg tidak mampu berhak menerimanya;
memfitrahkan v membayarkan fitrah; berfitrah untuk: ia harus ~ dua orang kemenakan yg diasuhnya.

Pengertian fitri yang berarti suci/bersih sudah terlanjur meluas (salah kaprah?), sehingga akhirnya fitrah harus mengalah posisinya diganti oleh fitri. Apa pun nama dan pengucapannya, mau itu Idul Fitri atau Idul Fitrah, adanya ketulusan untuk saling memaafkan dan keikhlasan berbagi di awal bulan Syawal itulah hal yang paling penting dari momen istimewa ini. Jika masih bingung juga mau dengan fitrah atau fitri, pakai saja kata Lebaran... :)
SELAMAT LEBARAN 1 SYAWAL 1430 H, MOHON MAAF LAHIR BATIN

benewaluyo@gmail.com)

Dirgahayu Endonesa

endonesia

Secara bahasa, iklan ini menarik karena mengangkat masalah pengucapan kata Indonesia yang sering sekali diucapkan menjadi Endonesia (atau Endonesa). Namun keheroikan iklan ini untuk membela harkat dan martabat bahasa lisan Indonesia agak ternodai dengan kalimat sub-judul di bawahnya: 'Dirgahayu HUT RI ke-64'.

Mengacu kepada KBBI Daring (dalam jaringan), kata dirgahayu berarti berumur panjang (biasanya ditujukan kpd negara atau organisasi yg sedang memperingati hari jadinya), dengan contoh kalimatnya: 'Dirgahayu Republik Indonesia' yang artinya panjang umur Republik Indonesia.

Jika ucapan seperti sub-judul iklan diatas berarti: Panjang Umur Hari Ulang Tahun RI ke-64, di sini yang panjang umur hari ulang tahun-nya atau Republik Indonesia-nya? Jika pertimbangannya masalah visual karena memakai kata Republik akan jadi terlalu panjang, mungkin lebih baik kalimatnya menjadi Dirgahayu Indonesia’?

Apresiasi dan salut untuk kreator iklan yang tampil di sampul belakang sebuah majalah musik yang bentuknya unik ini. Biar bagaimana pun, ide untuk membenarkan sebuah kesalahan yang sering terjadi, apalagi dalam tata cara kita bertutur kata, sangat jarang diangkat dalam iklan. (b\w)

Ngabuburit?

Kata di atas lagi sering-seringnya dipakai (karena bulan puasa), ini ada tulisan bagus tentang asal kata ‘ngabuburit’, trima kasih untuk mas Mulyadi yang mengizinkan tulisannya ‘diambil’ (copy-paste apa bhs Indonesianya ya?) dan ditaruh lagi di sini :D
Sejarah Ngabuburit
Melihat banyak teman bercerita dan menulis tentang aktivitas selama bulan puasa, khususnya kegiatan ‘ngabuburit’…. membuat saya penasaran , dari manakah asal muasal kata ini…? Tentu saja dari segi istilah kata ini dipakai pada masyarakat sunda, tapi seiring dengan waktu istilah ‘ngabuburit’ ini kemudian menjadi milik umum masyarakat Indonesia, lazimnya dipakai di Pulau Jawa. Menarik rasanya melihat latar belakang dan asal sejarahnya, sehingga kekeliruan mengartikan ‘ngabuburit’ sebagai NGABU dan (maaaaaf) BURIT.
Ngabu; terbentuk dari meng+abu, kemudian diplesetkan menjadi ngabu. Contohnya seperti pada meng+karet (mengaret) oleh orang kita sering diplesetkan menjadi ngaret. Atau meng+harap yang menjadi ngarap/ngarep.
Arti dari Ngabu sendiri adalah menjadi (bersifat) abu-abu (kelabu).
Burit; emmm…. masih perlu dibahas? enggak khan??

OK,
jadi arti NGABUBURIT adalah: BURIT YANG MENJADI ABU-ABU
seperti yang tertuang dalam http://iniblogbudi.blogspot.com/2008/09/etimologi-ngabuburit.html.. tidak perlu terjadi.
****
Ngabuburit dari segi kata berasal dari bahasa Sunda, artinya kurang lebih menunggu saat berbuka puasa. Padahal kata dasarnya sendiri sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan puasa. Burit berarti sore. Ngabuburit berarti menunggu sore, artinya tidak harus bulan puasa saja. Karena buka puasa dilakukan di sore hari (maghrib) maka akhirnya ngabuburit pun dipersempit artinya menjadi: menunggu saatnya buka puasa.
Sejak kapan aktivitas ngabuburit mulai dilakukan orang? Tidak ada yang tahu secara pasti. Tapi kemungkinan besar sejak orang berpuasa di bulan Ramadhan, karena kegiatan ini memang tujuannya untuk perintang-rintang waktu, biar nggak bosen nunggu waktu buka puasa.
Banyak kegiatan yang dilakukan sebagai pengisi waktu di sore hari alias ngabuburit. Salah satunya misalnya program pesantren kilat yang digelar selama bulan Ramadhan. Kebanyakan memang dilakukan di sore hari. Sambil ngabuburit, sekaligus juga dapat tambahan ilmu keagamaan.
Tapi banyak juga aktivitas ngabuburit yang tidak ada kaitan langsung dengan nuansa keagamaan. Ya, ini sih benar-benar sekedar perintang-rintang waktu. Bisa jalan-jalan, main games, nge.MP ria, bisa nongkrong di taman kota, baca buku, atau yang lainnya. Silakan pilih sendiri.
Sebetulnya memang tidak ada aturan yang mengatur kegiatan apa saja yang boleh dilakukan pada saat ngabuburit. Hanya saja, jangan sampai kegiatan ngabuburit ini mengurangi nilai ibadah puasa kita. Ngabuburit hanyalah aktivitas tambahan pada saat menjalankan ibadah puasa.Tujuannya agar kita tidak bosen menunggu saat buka puasa. Yang namanya aktivitas tambahan tentu tidak boleh mengalahkan aktivitas utama.
Ngabuburit Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
SEKARANG para penulis ataupun wartawan tak perlu lagi memiringkan kata ngabuburit saat menyusun artikel ataupun berita. Hal ini karena kata yang berasal dari bahasa Sunda tersebut sudah resmi menjadi lema (entri) ataupun sublema pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat yang terbit belum lama ini. Tahun terbitnya (yang resmi) 2008 tetapi baru diluncurkan ke pasaran sekitar Januari 2009.

Masuknya ngabuburit sebagai lema ataupun sublema pada KBBI IV dikemukakan Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM) T.D. Asmadi saat menyampaikan sambutan pada acara Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat di Bentara Budaya Jln. Palmerah Selatan 17 Jakarta, Selasa, 24 Februari 2009 lalu. Ya, begitu terbit, KBBI IV langsung dibedah oleh para ahli, pemerhati, peminat, dan pengguna bahasa Indonesia. Mereka antara lain para insan pers, guru, dan para akademisi.

Para pembicara pada acara itu adalah Prof. Bambang Kaswanti Purwo (Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Atmajaya Jakarta), Meity Taqdir Qodratillah (Kepala Subbidang Perkamusan dan Peristilahan Pusat Bahasa), Dumaria (guru SMAN 55 Jakarta), Tri Agung Kristanto dan Galih Smarapradhipa (Kompas). Acara ini berlangsung menarik, apalagi Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, pakar bahasa dari Universitas Indonesia, bertindak sebagai pemandu. T.D. Asmadi sendiri menyumbangkan makalah yang tidak disampaikan di depan forum.

Setelah dicek di KBBI IV, ngabuburit berstatus sublema dari lema burit (sore) dan tercantum di halaman 226. Ngabuburit (Sd) berarti menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Pada halaman 226 ini masih ada lema burit dengan arti lain, yakni bagian belakang, yang salah satu bentuk turunannya adalah buritan.

Kata kabita pun sudah dimuat sebagai lema di halaman 597 KBBI IV dengan kelas kata verba (kata kerja). Kabita (Sd) berarti tertarik dan menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dialami orang lain. KBBI IV memberi contoh kalimat, melihat orang lain makan enak, kita suka kabita. Dengan demikian, semakin banyak saja kosakata bahasa Sunda yang memperkaya bahasa Indonesia.

Pada sublema ngabuburit, penyusun KBBI IV tetap mencantumkan embel-embel “(Sd)” yang berarti kata-kata ini berasal dari bahasa Sunda. Hal ini dimaksudkan agar identitas atau asal usul suatu kata tetap bisa dilacak. Jadi unsur kesejarahan kata senantiasa diperhatikan, terutama bila menyangkut kata yang berasal dari bahasa daerah. Itulah sebabnya para ahli bahasa pun senantiasa menempatkan awalan, sisipan, dan akhiran dalam identitas atau posisi yang jelas karena akan mempermudah kita mengetahui sejarah pembentukan suatu kata. Hal ini pernah dikemukakan Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono.

Hal berbeda terjadi pada kata bahasa Sunda lain yang sebenarnya sudah dikenal luas, yakni keukeuh dan kadeudeuh. Belum diketahui, apa penyebab kedua kata itu belum dicantumkan sebagai lema ataupun sublema. Apakah mungkin karena mengandung vokal “eu” sehingga tidak semua kalangan bisa mengucapkannya dengan mudah? Bila dilihat dari sudut jangkauan pemakaian, tampaknya kedua kata itu sudah dipakai kalangan luas, tidak hanya warga (Jawa Barat) yang berbahasa Sunda. Dengan demikian, perlu dipertanyakan apakah studi tentang jangkauan pemakaian kata itu sudah dilakukan dengan optimal?

(Artikel di atas ditulis dan dimuat di benwal.blogdetik.com pada 5 September 2009)

DISEWA atau DISEWAKAN?

disewamaria

Hai Jon, kamu dicari Mince, katanya dia jadi mau nyewa rumahmu!
Waah terlambat Vin, rumahku udah disewa Maria…!
Kalau mobilmu, disewakan nggak?
Mobilku juga disewakan, memangnya siapa yang mau nyewa?
Aku pikir disewa Maria juga, kalo gitu aku mau sewa mobilmu saja…

Begitulah kira-kira ilustrasi penggunaan kalimat lisan sehari-hari yang menggunakan kata 'disewa' dan 'disewakan'. Merujuk gambar di atas, sebenarnya masalah ini sudah dibahas di tulisan sebelumnya (klik di sini), jadi sekarang ini hanya akan sampai pada ilustrasi atau contoh penggunaannya seperti di atas. Harapannya agar kita semua bisa lebih bijak lagi menggunakan kata-kata, apalagi untuk keperluan promosi. Selamat mencintai Bahasa Indonesia!
:D