electoral quick threshold judicial real review count

ISTILAH-ISTILAH (ASING) DI MASA PEMILU

Jakarta (ANTARA News) - Forum 17 partai politik (parpol) yang pada pemilu 2004 meraih suara kurang dari tiga persen (tidak lulus “electoral threshold“) pada Rabu (13/6) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan judicial review (uji materi) pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu terhadap UUD 1945. (dikutip dari http://www.antara.co.id)

Jangan percaya dulu dengan hasil quick count lembaga survei. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yakin real count KPU lebih akurat daripada quick count yang digelar berbagai lembaga survei. (dikutip dari http://pemilu.detiknews.com)

Itulah salah dua contoh pemberitaan selama masa menjelang hingga berlangsungnya Pemilu Indonesia 2009. Perhatikan kata yang ditulis miring. Saking seringnya istilah-istilah itu disebut dan ditulis, sehingga kita seolah-olah menganggap kata itu merupakan bagian dari bahasa Indonesia.
Padahal jika mau sedikit berusaha untuk dicari padanan kata dalam bahasa Indonesia-nya, tentu tak akan bikin keseleo lidah yang tidak biasa mengucap english.

Meski beberapa stasiun tv sudah ada yang menyebut quick count dengan hitung cepat, tetapi penyebutan aslinya tetap lebih sering disebut. Apalagi belakangan keluar lawan sejenisnya yaitu real count yang ironisnya justru dipopulerkan oleh lembaga resmi pemerintah Indonesia. Mungkin terpancing quick count sehingga mereka lebih memilih pakai count juga ketimbang hitungan nyata.

Bagaimana dengan electoral threshold? Wuiih, tulisannya aja udah bikin ngebacanya pening, gimana nyebutinnya, apalagi mengartikannya… (dari kamus.net: Electoral (n) * yang bertalian dgn pemilih atau pilihan, Threshold (n) * ambang pintu * ambang * permulaan).

Beda lagi dengan si judicial review yang sudah jelas ada padanannya, meskipun menurut mereka masih lebih keren menulis judicial review ketimbang “uji materi”.

Mudah-mudahan para pemimpin dan anggota legislatif yang nantinya terpilih membawa negara ini untuk masa lima tahun ke depan, jangan terlalu banyak memakai istilah asing jika berbicara. Siapa lagi yang akan menghargai bahasa nasional kita jika bukan kita sendiri. Semoga kecintaan terhadap Bahasa Indonesia dimulai dari para pemimpin dan wakil rakyatnya. Semoga tidak ada lagi kutipan seperti di bawah ini (dari http://pemilu.detiknews.com):

“Malam ini dengan Wiranto. Besok saat lunch dengan Prabowo, lalu malamnya dinner dengan Surya Paloh,” kata Effendy

:D

[10 April 2009]

quick count yang sangat pede

quick count sudah jadi bhs Indonesia???
quick count sudah jadi bhs Indonesia???
.
Kata ‘quick count‘ di iklan yang tayang di harian Kompas 8 April 2009 ini benar-benar pede (percaya diri). Bagaimana tidak pede, ia dengan santainya dapat berdiri ‘tegak’ tanpa dimiringkan selayaknya kata atau istilah asing. APA SUSAHNYA YA PAKAI KATA ‘PERHITUNGAN CEPAT‘ ATAU ‘HITUNGAN CEPAT‘???

[8 April 2009]

COUNTER TELLER?

nasabah-yth

Lihat lihatlah, di bank terkenal saja Rp-nya masih menggunakan titik. Pemakaian kata transfer bisa dimaklumi, karena jika diganti dengan pemindah bukuan atau pengiriman uang mungkin memang agak kepanjangan. Tapi untuk kata counter teller sepertinya ada yang aneh ya? Di kamus.net kata counter itu sendiri berarti kasir, sementara teller juga berarti kasir bank?

Oke deh, mungkin kata teller susah cari padanan katanya yang tepat. Bagaimana jika kalimatnya begini:

TRANSAKSI PENARIKAN TUNAI/TRANSFER DARI TABUNGAN MELALUI TELLER WAJIB MENGGUNAKAN KARTU ATM

Tentunya para nasabah (warga negara Indonesia) yang terhormat tidak keberatan, bukan? Karena kalimatnya jadi terasa lebih nyaman. :)

[27 Maret 2009]

Bahasa Jawa dan Sunda di Ponsel

Bukan bermaksud promosi, tapi hanya ingin berbagi informasi. Sekarang ini mereka (para produsen) selalu berusaha untuk lebih akrab dengan konsumennya. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan menu bahasa daerah di produk telepon seluler. Ternyata aplikasi teknologi dengan menu bahasa Indonesia sudah tidak istimewa lagi.

Tentang sejauh mana efektifitasnya dalam menjaring pengguna atau pembeli lebih banyak sehingga bisa meningkatkan penjualan, masih perlu waktu untuk dibuktikan, yang jelas dengan adanya menu bahasa daerah ini paling tidak kekayaan bahasa kita mulai dihargai.

ponsel sony ericsson dengan menu bahasa jawa dan sunda
ponsel Sony Ericsson dengan menu bahasa Jawa dan Sunda

(11 Maret 2009)

“Paket OK” yang nggak oke karena mengecoh!


paket-ok1
Kalo lihat etika tata bahasanya sihwah, jangan ditanya deh, tapi yang mau dibahas di sini adalah masalah persepsinya. Kira-kira apa yang dipikiran Anda jika baca promosi ini?

“Murah nih, berdua Rp 36-an ribu! paling tidak begitu pikiran saya. Kenyataannya kami menghabiskan lebih dari Rp 100 ribu untuk makan berdua (sudah ditambah harga minuman dan biaya tax & service). Rupanya kuncinya ada di tulisan /pax. Jebakan batman yang bagus!

Makanya jangan terkecoh dengan promosi resto ini. Paket OK Rp 36.500++/pax (perhatikan, mereka menulisnya benar ‘Rp’ tanpa titik, tapi kenapa memakai koma di setelah angka 6, jadi ya tetap salah, hehehe) berhasil mengelabui konsumen agar mengira dengan harga segitu bisa makan berdua. Padahal 36-ribuan itu untuk satu orang! Tulisan PAKET 2 ORANG dan PAKET 4 ORANG di bawahnya juga sangat menggiring orang untuk masuk perangkap. Kasihan jika ada yang bawa duit pas-pasan.

Sayangnya, penipuan akal-akalan ini menyajikan makanan yang memang enak rasanya. Apalagi Thai Singkong-nya. Gila, kenapa nggak bilang singkong Thailand aja ya? Udah gitu pake tambahan kata free lagi, padahal sudah ada gratis di belakangnya!

Jadi bingung juga, kami tertipu harga & kata, tapi menikmati kelezatannya. Ya satu-satunya cara untuk menghapus kekesalan itu adalah dengan menulis kisahnya di sini. Jika ada yang penasaran dengan kenikmatan rasanya, ya silakan saja terkecoh, asal ikhlas… hehehe.

paket-ok2 

(6 Maret 2009)

Diskusi Bedah KBBI Edisi 4

27 Februari 2009
KBBI Edisi 4 Lebih Tebal Lebih Membingungkan

Dari tiga edisi yang telah disusun sebelumnya, dalam diskusi Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat, Meiti Takdir Kodratillah, dari tim Pusat Bahasa Indonesia menyatakan terdapat banyak perbedaan dalam KBBI edisi keempat ini dibandingkan dengan kamus edisi-edisi sebelumnya.

“KBBI edisi keempat berbeda dengan KBBI edisi sebelumnya,” terang Meiti dalam acara
diskusi di gedung Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta, Selasa (24/2/2009).

Meiti menyebutkan perbedaan yang terdapat dalam kamus tersebut yaitu: 1) penambahan lema dan sublema yang semula berjumlah sekitar 78.000, kini bertambah menjadi sekitar 90.000 lema. Penambahan itu meliputi kosakata baru, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. 2) perbaikan menyangkut definisi, penjelasan lema, dan pemenggalan kata. 3) perbaikan menyangkut informasi teknis, seperti label bidang ilmu, label bahsa daerah, dan informasi yang lain. Dan 4) Sistematika penyusunan lema yang tidak lagi berdasarkan abjad seperti pada kamus-kamus sebelumnya, tetapi berdasarkan paradigma.

Menurutnya sistematika penyusunan lema pada edisi-edisi sebelumnya yang dilakukan berdasarkan abjad oleh tim penyusunnya membuat definisi yang diberikan banyak yang tidak taat asas, karenanya tim pusat bahasa mencoba menyusun KBBI IV dengan sistem yang lain melalui beberapa tahapan berbeda.

“Sistem tersebut membuat definisi yang diberikan banyak yang tidak taat asas.” jelas Meiti. Sementara tahapan-tahapan yang dimaksud dalam penyusunan lema KBBI IV ini yaitu: 1) pengelompokkan lema menurut bidang atau medan maknanya, 2) pemeriksaan lema dan sublema yang telah dikelompokkan, 3) pemeriksaan lema dan sublema baru, 4) penggabungan kembali lema dan sublema berdasarkan abjad, dan 5) pemeriksaan lema dan sublema setelah penggabungan.

Kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) IV boleh saja bertambah jumlahnya sehingga kian lengkap. Namun, pertambahannya itu bukannya tanpa sisi negatif.

“Perubahan format pada larik pertama lema tidak konsisten. Ada yang terlewat, belum diubah, bahkan pada halaman yang sama seperti pada halaman 830. Ini dapat membingungkan pembaca, dapat dibaca sebagai makna, padahal bukan,” kata ahli tata bahasa Indonesia dari Unika Atmajaya Bambang Kaswati Purwo dalam diskusi Bedah KBBI IV di Gedung Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta Selatan, Selasa (24/2/2009).

Dari empat edisi yang telah diluncurkan, sebanyak 27.951 kata telah bertambah, mulai dari edisi I yang memuat sebanyak 62.100 kata, edisi II 72.000 kata, edisi III 78.000 kata, dan terakhir edisi IV sebanyak 90.049 kata. Penambahan kata ini menurut Meiti merupakan hasil penambahan kosakata baru yang sudah umum dipakai di masyarakat yang terkait juga dengan penambahan kosakata baru khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Bambang, KBBI seharusnya tidak perlu terlalu banyak mengambil kata-kata serapan yang berasal dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kata-kata yang merupakan bagian teknis dalam satu ilmu pengetahuan seharusnya disusun dalam kamus tersendiri khusus bidang keilmuan tersebut.

“Apakah semua masalah harus dijangkau dalam KBBI saya jawab ya. Tapi apakah harus masuk dalam kamus ini jawaban saya tidak. Untuk kosakata yang memang teknis dalam satu ilmu pengetahuan saya rasa itu tidak perlu dimasukkan, tapi jika kosakata tersebut lintas ilmu pengetahuan dan umum dipakai ya perlu dicantumkan,” terangnya.

Selain itu Bambang juga mengusulkan adanya satu KBBI yang memang khusus dipakai sebagai rujukan atau pedoman tata bahasa untuk masyarakat. Nantinya tidak perlu ada lagi KBBI berseri seperti yang ada sekarang yang dianggap membingungkan masyarakat tentang mana edisi yang harus dipakai.

“Saya mengusulkan adanya kamus khusus, sehingga tidak perlu ada lagi edisi 1,2,3,4
dan nanti 5. Yang beredar itu hanya kamus gubahan,” pungkasnya.

Akronim dan Singkatan yang Sukses Jadi Kata

Itu Lia, yang ngurus bagian kehumasan di kantor, dia curhat kalo lagi bete karena baru ditilang, ngerayu polisi sampe kege-eran dan dengan pedenya si polisi minta nomer henpon.

Nggak ada yang salah sih sama kalimat di atas. Tapi coba perhatikan kata-kata yang digaris bawah. Kita biasa menganggapnya sebagai satu kata, padahal tanpa kita sadari kata-kata itu awalnya adalah sebuah akronim dan singkatan.

Kehumasan yang asal katanya humas, berasal dari akronim hubungan masyarakat. Saking seringnya dipakai, sampai-sampai dianggap seperti sebuah kata. Begitu juga dengan tilang, sebuah akronim dari kata bukti dan pelanggaran, paling sukses bermetamorfosis jadi sebuah kata. Kedua akronim ini juga punya prestasi yang bagus di dunia persilatan bahasa, yaitu sukses dengan utuh masuk KBBI.

Sebuah akronim atau singkatan atau istilah, bisa dibilang sukses jadi sebuah kata jika dia sudah tidak canggung jika ditempelkan dengan imbuhan, contohnya seperti dua kata di atas. Kata bete meski boleh dibilang istilah baru, statusnya sudah bisa sejajar dengan curhat karena seringnya orang pakai kata itu, meskipun kedengarannya masih nggak enak jika ditambah imbuhan. Beda dengan curhat yang sudah nyaman jika dipakai imbuhan, malah ada yang memakainya sebagai akronim dengan menjadikannya istilah baru: curcol, curhat colongan (menggunakan kesempatan yang bukan waktunya untuk curhat).

Kalo pede dan ge-er beda lagi asal-muasalnya. Berawal dari singkatan huruf pertama percaya dan diri, serta gede dan rasa, mereka sukses memposisikan diri jadi kata yang sering dipakai. Sejenis mereka adalah kata hape yang berasal dari bahasa asing handphone, ini pun di “Indonesiakan” jadi henpon.

Ternyata tanpa kita sadari banyak kata-kata yang asalnya terdiri dari dua kata atau lebih, bahkan sebenarnya merupakan singkatan, namun selama kita sesama pemakai bahasa sepakat untuk ikhlas memakainya jadi sebuah kata, dan saling mengerti artinya, ya nggak masyalah, gitu aja kok repot… :D  

(16 Februari 2009)

Lomba Blog: salah satu penghargaan terhadap Bahasa Indonesia

4 Februari 2009

Akhir-akhir ini marak berbagai lomba blog yang diadakan berbagai pihak, mulai dari perorangan, seperti yang diadakan oleh bugiakso.com (”Aku Untuk Negeriku”), hingga korporasi besar. Terutama perusahaan yang berhubungan dengan komunikasi maya, mulai dari Speedy hingga Star-One. Senang melihat kenyataan dalam lomba-lomba tersebut sebagian besar mensyaratkan kewajiban berbahasa Indonesia (ya jelas donk ah, kan lombanya di Indonesia, kalo di India ya bahasa Urdu lah… hehe).

Namun lomba blog tak hanya didominasi oleh usaha teknologi komunikasi saja, banyak korporasi raksasa di bidang lain juga tak kalah hebohnya bikin lomba tersebut. Salah satunya adalah Djarum Black Blog Competition.

Artikel yang diajukan untuk kompetisi menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dapat dipergunakan sebagai konten artikel tetapi hanya sebagai pelengkap artikel saja, bukan menjadi bahasa utama penulisan artikel. Demikian yang ditulis oleh panitia di web blog Djarum Black Blog Competition di dalam Syarat dan Ketentuan poin ke empat. Hal ini patut dihargai, meski masih ada sedikiiit sekali kekurangan, yaitu kelupaan mengganti atau mencari padanan kata konten (isi, kandungan) dalam kalimat tersebut.

Ah, cuma begitu doank kok ribut sih… celetuk seorang teman. Betul juga dia, yang penting kan dalam lomba tersebut mengutamakan penggunaan Bahasa Indonesia. Meskipun lagi-lagi di dalam latar belakang lomba ada dua poin yang juga belum dicari padanan katanya:
Untuk menemukan generasi baru yang lebih expressive, speak up their opinion, care to their surroundings, and creative. Diteruskan dengan poin kedua: Bloging sudah menjadi Lifestyle.

Di antara banyak kealpaan tersebut, yang jelas Kompetisi Blog Djarum Black (baca: Djarum Black Blog Competition) ini merupakan salah satu unsur pendukung berkembangnya Bahasa Indonesia, terutama di dalam dunia per-blog-an. Justru harapannya setelah panitia membaca tulisan ini, yang juga sekaligus diikutsertakan dalam kompetisi, ke depannya kerancuan berbahasa tersebut akan lebih diperhatikan.

Salut untuk Djarum Black! Perusahaan ini memang sangat memperhatikan potensi kaum muda Indonesia. Terbukti mereka juga sukses dalam penyelenggaraan Blackinnovationawards setiap tahunnya. Lomba blog kali ini tentunya bertujuan untuk memunculkan potensi blogger Indonesia. Siapa tahu dari para peserta ada yang bisa menghasilkan sesuatu hal baru yang dapat berguna bagi banyak orang, seperti apa yang sudah dicapai dalam Blackinnovationawards.

Keep blogging! Eh, salah… maksudnya… ayo terus nge-blog!
:D

Apa Kabar PEMAKAI Bahasa Indonesia?

3 Februari 2009

logowp-batik21

Matt Mullenweg, nama ini bagi para Wordpress-mania tentu sudah tak asing lagi. Ya, dia lah pendiri penyedia blog gratisan Wordpress. Umurnya baru 25 tahun, tapi fasilitas blog gratisannya sungguh hebat karena hingga tahun lalu saja sudah 230 juta pengakses dengan jumlah posting 4 juta perbulan. Model blognya banyak dijadikan dasar layanan penyedia blog lain, contohnya di Indonesia oleh Blogdetik dan dagdigdug.


Lantas apa hubungannya Matt dengan blog yang membahas tentang Bahasa Indonesia? Ternyata kedatangan dia di Indonesia pada bulan Januari 2009 kemarin adalah untuk menjadi pembicara pada acara Word-Camp di Jakarta. Kenapa dia mau datang ke Jakarta? Karena ia menghargai Indonesia disebabkan bahasa ketiga terbesar para pengguna Wordpress adalah bahasa Indonesia, setelah bahasa Spanyol dan tentunya bahasa Inggris di urutan pertama.

Menurut Situs Alexa, tercatat sudah 280.000, atau bahkan lebih, blog Wordpress yang pakai bahasa Indonesia! Melihat kenyataan ini, masihkah kita meragukan kesaktian bahasa Indonesia? Masihkah bahasa persatuan ini dianggap sebagai bahasa kelas dua setelah english atau bahasa asing lain? Masihkah bahasa kita dianggap kurang keren?

Apa kabar pemakai bahasa Indonesia? Masih belum menghargai bahasanya sendiri nih…?
:D