*postingan 11 Juni 2006 (di benwal.multiply.com)
Setelah istilah Wedhus Gembel, gunung Merapi punya
istilah unik lagi, yaitu Geger Boyo. Istilah ini adalah sebutan untuk
dinding kubah lava di puncak Merapi yang terbentuk karena letusan antara tahun
1906 – 1911.
Minggu malam tanggal 4 Juni 2006 kemarin geger boyo
runtuh karena terus menerus dihempas oleh aliran lava yang keluar tak hanya
lewat kubah, tapi juga mencari jalan keluar melalui kaki kubah, sehingga
kemungkinan besar hal itu yang semakin melemahkan kekuatan si ‘punggung buaya’
tersebut.
Beda geger dan gégér
Geger Boyo adalah sebutan yang diberikan oleh penduduk lokal, yang dalam bahasa
Indonesia berarti “punggung buaya”. Sama seperti wedhus gembel, sebutan
itu kemungkinan besar dikarenakan bentuk dinding kubah yang terlihat kasar
seperti punggung buaya.
Cara mengucapkan huruf ‘e’ pada kata geger sama
dengan ketika kita mengucapkan kata beras, bukan ‘e’ pada kata bébas.
Jika begitu pengucapannya dalam bahasa Jawa, artinya adalah punggung.
Sedangkan arti boyo dalam bahasa Indonesia adalah buaya.
Cara pengucapan ini menjadi penting, karena ketika
mengucapkan gégér dengan ‘e’ seperti pada kata bébas, artinya
adalah kegemparan atau keramaian. Ternyata geger yang
berarti gempar ini sudah menjadi kata resmi bahasa Indonesia, terbukti dengan
adanya kata geger di Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan Depdikbud RI
thn.1988, hal. 260). Di buku itu geger [gégér] berarti:
riuh ramai tidak keruan; gempar; heboh; ribut.
Pentingnya mengetahui akar budaya lokal
Di beberapa media cetak, geger boyo ini ditulis
dengan berbagai macam. Salah satu media ada yang menulis Geger Buaya. Jika
begitu, artinya adalah “kehebohan buaya” karena kata boyo yang sudah
diindonesiakan. Karena ini adalah sebuah penyebutan yang sangat bersifat lokal,
sebaiknya memang tidak perlu diganti dalam penulisannya, karena akan menjadi
aneh. Coba bayangkan apa yang ada di benak kita jika membaca sebuah berita
seperti ini: “Struktur Merapi berubah karena runtuhnya Punggung Buaya”?
Mungkin sudah saatnya menambah kriteria atau prasyarat
seseorang jurnalis jika ingin bekerja di sebuah media berbahasa Indonesia,
yaitu selain biasanya diutamakan yang mampu berbahasa Inggris, juga harus
bahkan wajib menguasai dengan baik dan benar bahasa Indonesia serta bahasa
daerah.
Jangan sampai justru orang asing yang lebih pintar menggunakan dengan baik dan benar bahasa persatuan kita ini. Sekarang sudah mulai banyak bule-bule yang sungguh mahir berbahasa Indonesia, bahkan juga bahasa daerah, karena memang mereka mempelajarinya. Sementara banyak orang Indonesia yang justru bangga tidak bisa berbahasa daerah, malah bangga dengan bahasa asingnya. Lama-lama akar budaya kita bisa runtuh seperti punggung.. eh, geger boyo Merapi itu, karena kebanyakan dihempas oleh unsur asing lewat bahasa. Semoga tidak terjadi. [b\w]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar