Efek Jera dengan Bahasa Gamblang

“Sebagian besar balita di dusun itu menderita gizi buruk.” Demikian kalimat yang dikutip dari sebuah berita di sebuah surat kabar. Sepertinya tak ada yang salah dengan kalimatnya. Juga tak ada yang salah dengan penulis beritanya. Hanya ada istilah yang saat ini jadi sering digunakan, yaitu gizi buruk. Maksudnya busung lapar, atau balita yang menderita sakit karena kurang makan, kurang gizi, kurang vitamin, pokoknya serba kurang lah. Maunya sih memperhalus bahasa, mungkin penulisnya ingin agar terlihat lebih terpelajar.

Jika kita melihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gizi adalah sebuah kata nomina (kelas kata yang tidak dapat digabung dengan kata tidak) yang berarti zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan. Sedangkan buruk mempunyai banyak arti: 1 rusak atau busuk krn sudah lama; 2 (kelakuan dsb) jahat; tidak menyenangkan; 3 (muka, rupa, dsb) tidak cantik; tidak elok; jelek. Jadi gizi buruk artinya adalah zat makanan yang tidak baik, atau yang jelek lah. Pertanyaannya adalah, mengapa harus memakai istilah gizi buruk?

Apa yang salah jika kita memakai kata-kata yang gamblang? “Sebagian besar balita di dusun itu menderita kurang gizi.” atau “Sebagian besar balita di dusun itu menderita kelaparan!” tampaknya akan lebih menohok dibanding menggunakan istilah baru yang terlalu halus. Dengan begitu, jika di antara pembaca ada orang yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, tentunya akan malu (meski jaman sekarang banyak yang nggak punya malu), dan sudah seharusnya langsung bertindak memperbaiki kelalaiannya, agar balita yang kurang gizi tak terjadi lagi.

“Polisi menangkap tersangka illegal loging yang merupakan suami dari seorang bintang film terkenal.” Kenapa tidak pakai istilah maling kayu saja? Biar pelakunya malu sekalian, atau bisa juga membuat calon pelaku lain mengurungkan niatnya, hanya karena tidak ingin disebut maling.

Istilah yang cukup baru dan sering sekali digunakan adalah PSK, kepanjangan dari Pekerja Seks Komersial (meski banyak para pekerja biro iklan yang juga mengaku sebagai PSK, alias Pekerja Seni Komersial. Hehehe..). Padahal dahulu sebelumnya kita mengenal istilah Wanita Tuna Susila (WTS) atau gigolo jika pelakunya pria, yang maksudnya juga untuk memperhalus, tapi lama-lama juga dianggap istilah kasar. Bukan tak mungkin istilah PSK makin lama dianggap kasar juga? Jadi kenapa tidak sekalian saja gunakan istilah aslinya; pelacur. Dengan harapan, para pelakunya jadi malu, dan minimal punya niat untuk tidak melacur lagi.

Penggunaan bahasa gamblang memang belum tentu serta-merta dapat memberi efek jera terhadap para pelaku, atau yang bertanggung jawab terhadap obyek kalimat. Namun paling tidak dapat langsung memberitahu masyarakat akan sebuah kenyataan buruk yang sudah bukan saatnya lagi untuk ditutup-tutupi, atau dimanipulasi seolah-olah everything okay!

Jika para pemimpin bank yang membawa lari uang nasabahnya dan juga merugikan negara milyaran rupiah itu membaca, bahwa dirinya ternyata adalah seorang maling uang nasabah, dan bukan seorang penunggak hutang BLBI, tentunya mereka akan malu menginjakkan kaki ke istana Presiden Republik Indonesia yang saat ini sudah dianggap sebagai antek kapitalis AS (bukan sekutu dekat AS). “Emang gua pikirin!” ujar salah seorang debitor dana BLBI, eh… tukang tilep dana BLBI, yang mungkin sedang membaca tulisan ini. (b/w) 


* tulisan ini diposting pada 26 Maret 2006 di benwal.multiply.com  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar