Kebetulan teman pengusaha restoran yang sukses ini memang hendak membeli mobil, sehingga rajin lihat-lihat iklan mobil. Ketika ia menemukan iklan salah satu mobil dambaannya namun mengalami kesulitan memahami apa yang hendak ditawarkan oleh iklannya, ia malah jadi tak merasa perlu untuk membeli merek tersebut. Meskipun sebenarnya iklan itu juga memiliki badan naskah (baca: body copy) berbahasa Indonesia yang dapat dimengerti, tapi dia sudah terlanjur malas membacanya.
Sepertinya lagi marak iklan-iklan di media cetak yang bergaya campuran begitu. Hampir setiap hari kita bisa lihat di koran iklan-iklan yang punya kepala tulisan (baca: headline) berbahasa asing dan berbadan bahasa Indonesia, atau bahkan di kepalanya sudah campuran. Contohnya saat puasa dan Lebaran: Buffet Buka Puasa, Lebaran Sale, Lebaran Great Promo, Up to 50% Off! dan masih banyak lagi.
Iklan di media berbahasa Indonesia, pastinya dibaca oleh orang yang sehari-hari berbahasa Indonesia, kenapa harus pakai bahasa Inggris? Apa salahmu wahai Bahasa Indonesia? Apakah orang Indonesia yang banyak duit selalu berbahasa asing jika berbicara setiap hari? Sehingga perlu berbahasa Inggris untuk menjaring mereka agar tergoda dengan produk yang diiklankan (padahal kenyataannya tidak juga, contohnya si pengusaha sukses seperti ilustrasi di atas). Atau karena bahasa Indonesia sudah benar-benar tiada berharga di mata penggunanya sendiri?
Ayo jalan-jalan sebentar ke Paris, Perancis. Masuklah ke beberapa toko mode terkenal seperti: Lafayette, Paris Look, atau gerai parfum France & Monde. Jangan kaget kalau tiba-tiba kita disapa oleh pramuniaganya dengan bahasa Indonesia. Begitu pula di Amsterdam, Belanda. Gassan Diamonds salah satu toko berlian terkenal di sana juga punya karyawan khusus yang berbahasa Indonesia untuk menyambut konsumen dari Nusantara. Ternyata bahasa Indonesia lebih dihargai di sana!
Jika alasannya lebih keren pakai kata buffet ketimbang prasmanan, kata great sale yang lebih kedengeran oke ketimbang obral besar, atau istilah up to 50% off yang lebih menunjukkan kelasnya ketimbang potongan harga 50%! Yo wis lah, lagi-lagi masalah kebiasaan. Padahal jika dilihat dari efektifitas dan keberhasilan iklannya merengkuh konsumen, belum tentu tepat juga. Mungkin kalau dari dulu kita semua terbiasa menghargai dan lebih suka berbahasa Indonesia, serta percaya diri bertutur dengan bahasa negeri sendiri, bahasa iklan-iklan kita tidak lagi terdistorsi seperti sekarang ini. Sungguh malang nasibmu oh bahasaku... [b\w] (post di benwal.blogdetik 25/07/2008)
Majalah AdDiction edisi 08/05/2007 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar