Kenapa ya para
pembuat film Indonesia takut menggunakan judul bahasa Indonesia? Memang ada
yang salah dengan judul Cermin untuk
mengganti kata Mirror? (Sebuah film
yang dibintangi artis bernama sangat Indonesia, Nirina Zubir).
Apakah pemakaian
kata Missing bisa menarik jumlah
penonton dibandingkan kata Hilang
misalnya? Atau ngerasa aneh dengan kata Belahan
Jiwa untuk menggantikan Soulmate,
atau kata Jiwa jadi mengingatkan
rumah sakit di Grogol, jika menggantikan judul The Soul (yang tadinya dikira film Korea karena mirip-mirip kata
Seoul)?
Bolehlah sedikit
ng-english jika judul tersebut menunjukan sebuah tempat, atau obyek tertentu.
Contohnya salah satu film nominasi FFI juga yaitu Brownies. Tapi, ketika nama tempat Eiffel, disambung I’m in
Love... jadi ngaco lagi. Sama ngaconya dengan film remaja Me vs The High Heels yang jelas-jelas
dialognya pake bahasa Indonesia.
Jika memang arti
kata aslinya tidak enak dibaca, mengapa tidak mencari seorang copywriter untuk dibuatkan semacam headlines bagi filmnya? Misalnya jadi Aku & Sepatuku! Atau The Soul jadi Jiwa Penasaran. (Eh, boleh kan copywriter
nulis judul film? Paling enggak buat sampingan, hehehe...)
Inilah nasib
bahasa Indonesia. Bahasa persatuan yang diperjuangan dengan darah dan air mata,
tidak cukup dihargai oleh pemakainya sendiri. Paling tidak jika memang
diperlukan bahasa Inggris, cantumkanlah bahasa Indonesia lebih dahulu, baru
terjemahannya dalam English. Bukan
sebaliknya! Jangan sampai kita jadi tidak punya kepribadian dengan hadirnya bahasa
Indonenglish, ikut-ikutan Singlish (Singapore English) milik
negeri jiran. Atau kita memang senang dengan budaya ikut-ikutan? (b/w-1205)
*tulisan ini diposting di (alm) benwal.multiply.com pada 13 Desember 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar