BUS WAY RASA ORANG-E




Isu tentang pemakaian bahasa Indonesia bercampur English memang bukan masalah baru, kini hampir di mana-mana hal itu terjadi karena memang tidak ada hukuman apa pun jika kita melakukannya, meski sudah ada undang-undangnya: UU No. 24 tahun 2009.

Saking sering dan terbiasanya, malahan membuat bahasa Indonesia mengalah, hingga bahasa asing tersebut akhirnya resmi masuk ke dalam keluarga besar bahasa Indonesia secara mutlak, maksudnya tidak mengalami penyesuaian lagi.

Salah satu contoh kata yang akhirnya resmi menjadi bahasa Indonesia adalah kata bus yang di KBBI Daring kita akan menemukan artinya yaitu: kendaraan bermotor angkutan umum yg besar, beroda empat atau lebih, yg dapat memuat penumpang banyak. Padahal 25 tahun lalu, kita masih menggunakan kata & tulisan bis untuk menyebut jenis angkutan umum itu. Kini kata bus tersebut ngaconya makin menjadi-jadi dengan ditambahkannya kata way menjadi bus way yang secara resmi digunakan oleh pemerintah daerah setempat di mana makhluk busway itu berada.

Bus way ini juga mengalami makna yang nggak jelas, apakah bermakna sebagai jalur bus sesuai artinya dalam bahasa Indonesia, atau istilah penyebutan jenis busnya? Karena di situ juga tertulis halte bus way yang tentunya bukan berarti halte untuk jalur bus, kan? Kalau di antara jalur bus terdapat halte untuk busnya itu benar.

Ketimpangan berbahasa ini akhirnya diikuti juga oleh warga kotanya. Salah satunya adalah pembuat iklan yang gambarnya bisa kita lihat ada di belakang jembatan halte bus way itu. Bagaimana dengan tanpa dosa membuat kalimat campur aduk BARU! Rasa ORANGE. Selain rasa jeruk, rasa apel, rasa pahit, manis, rasa pedih, sedih, kini ada rasa baru, yaitu rasa orang-e, mudah-mudahan ini bukan minuman untuk para kanibal, hehehe… [b\w]

-------

Tulisan ini diambil dari blog awal "Bahasa, please!" http://benwal.blogdetik.com (ditulis 13 Juli 2010) yang ternyata menuai banyak komentar yang juga menarik untuk dibaca. Berikut di bawah ini adalah semua komentar yang telah disalin-rekat dari sana:

  • myun 5 years ago
     
    nice post…..
    salam kenal…
    kunjungi repository unand
    terima kasih ^^
    .
    = terima kasih kembali, salam kenal & sudah berkunjung juga :)


  • Asrul 5 years ago
    Bener tuh,bahasa asing di indonesiain tanpa memandang arti sebenarnya tanpa melihat jelas, di Riau malah ada nama bus komersil yang di pakai ke luar kota namanya “superben” tau nggak dari bahasa apa aslinya??
    “sub urban!” Gila, jadi aneh banget yah
    .
    = wah, kalo bisa difoto itu bis suberben bagus banget tuh bang Asrul, bisa kita bahas di sini… :D


  • Eky 5 years ago
    Salut untuk Mas Bene dengan ulasan lugasnya mengenai ketimpangan bahasa di kampung halaman kita ini. Padahal alumni Sastra Belanda gitu loh….
    .
    = terima kasih mas Eky, lebih tepatnya lagi sy cuma ‘pernah kuliah’ di Sastra Belanda sebelum akhirnya hijrah ke jurusan grafis terus terjebak di jurusan iklan, hehehe… :D


  • bee 5 years ago
     
    @yudya:
    Tentu saja ada benar dan salah dalam berbahasa. Ada tata bahasa, kamus, peribahasa, idiom, dst, sebagai acuan kita untuk menentukan benar dan salahya kita dalam berbahasa. Apa jadinya kalo kita tidak mematuhi semua itu? Dan itu belum cukup, setelah benar dan salah masih ada lagi yaitu baku dan tidak baku (pergaulan/slang).

    Untuk bahasa pergaulan, saya sepakat kalo kita tidak perlu terlalu ketat dgn aturan berbahasa, yg penting bisa saling memahami antar yg berkomunikasi. Mungkin di sini batasan lazim tidak lazim masih ada hubungannya. Pun dalam bahasa pergaulan juga masih ada aturan dan batasan, walau mungkin tidak seketat dalam bahasa baku.

    Untuk bahasa baku, ini masalah kedisiplinan kita selaku pengguna sekaligus pemilik bahasa. Ada hubungannya juga dengan kepedulian dan kebanggaan kita untuk memelihara bahasa baku yg baik dan benar. Dalam bahasa baku, lazim atau tidak bukan hal yg perlu diutamakan. Idealnya, bahasa baku selalu lazim. Jika ada yg menganggap tidak lazim, mungkin dia sendiri yg tidak lazim dgn penggunaan bahasa baku. Dan itu adalah masalah dia, bukan masalah saya, apalagi kita.

    Apa masalahnya jika kita ganti “busway” dgn “lajur bis”, “trans” dgn “lintas”, “oran[g/y]e” dgn “jingga”, dst? Masalahnya, sebagian besar dari kita sudah tidak disiplin, tidak peduli, dan tidak bangga pada bahasa kita sendiri. Jadilah seperti kondisi saat ini: busway rasa orange. :D
    .

    = terima kasih banyak mas atas tanggapannya yg sgt jelas sekali :D



  • yudya handoko 5 years ago

    Mana kalimat yang benar dari kalimat-kalimat di bawah ini?

    1. “Saya mau pergi ke Glodok naik BUSWAY lewat TRANS JAKARTA”.
    atau
    2. “Dari Glodok ke Blok-M saya naik TRANS JAKARTA lewat BUSWAY”.
    3. “Kemarin baju saya warna COKLAT terkena noda COKLAT”
    4. “Baju saya yang berwarna KECOKLATAN kemarin terkena noda COKLAT”

    Aaaaaah bahasa tidak ada BENAR SALAH yang ada hanyalah LAZIM atau TIDAK LAZIM
    .
    = hehehe… kita sudah mendiskusikan hal ini di facebook ya mas Yudya (http://www.facebook.com/profile.php?id=621054743), kesimpulannya dari saya sih: “sesuatu yg lazim belum tentu benar, dan sesuatu yg benar juga belum tentu lazim” jadi benar-salah dlm berbahasa lebih diperlukan untuk yg baru belajar bhs Indonesia agar tidak terperosok dlm “ketidaklaziman” berbahasa, kira-kira begitu mas :D terima kasih banyak atas perhatian dan kecintaan mas Yudya terhadap bahasa Indonesia :)


  • bee 5 years ago
    Iya tuh, makin parah aja bhs Indonesia. Dan KBBI pun ikut2-an makin ngaco! Sudah bagus2 pake ‘bis’ kok ya tetep masukin ‘bus’. Gak pede banget sih tuh KBBI? Parah bener! :(

    Ngomong2 tentang bis, ada anekdot lucu. Kata tsb menunjukkan betapa kacaunya bhs Inggris. Coba perhatikan… ‘bus’ dibaca ‘bas’ artinya ‘bis’, yg punya ‘bos’. Kacau gak tuh?! Gitu kok bangga pake bhs Inggris. Hahahaha…

    Ngomong2 tentang orang-e. Saya berusaha membiasakan anak2 saya berbahasa Indonesia dgn baik dan benar sejak kecil. Termasuk juga warna. Untuk warna jeruk, saya ajarkan untuk menyebutnya sbg ‘jingga’. Coba ingat, kapan terakhir kali kita dengar kata itu?

    Ketika anak saya sudah masuk TK, gurunya mengajarkan warna jeruk sebagai ‘oreny’. Betul, persis sebagaimana kita membaca ‘orange’ dlm bhs Inggris. Parah gak sih? Masih mending kalo dibaca ‘oranye’. Untungnya anak saya dgn pede menyalahkan gurunya. Katanya, “Bu.. bukan oreny, tapi jingga!”. Hahahaha… kapokmu kapan bu guru?! :D
    .

    = hebat, keren mas, salut bgt sama kecintaannya kpd bhs Indonesia yg ditularkan ke sang junior! guru-guru ngenglish gitu emang musti diberi pelajaran tentang bagaimana mencintai bangsanya, jgn asal ngajar aja… :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar