14 Februari 2010
Menyambut Tahun Baru Imlek, kita kembali diingatkan akan peran etnis
Cina dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bagi warga etnis Betawi,
kata-kata penyebutan untuk nilai rupiah dalam bahasa Cina sudah menjadi
bagian dari budaya berbahasa mereka. Dahulu ketika masih ada nilai uang
Rp5 (lima rupiah), orang Betawi biasa menyebutnya ‘go tun’, lalu ‘cap
tun’ untuk Rp10 (sepuluh rupiah), ‘ji go’ untuk Rp 25 atau ‘ji go tun’
(dua puluh lima perak, kata ‘tun’ sama dengan perak/rupiah).
Ternyata, menurut sebuah situs bernama Web Gopek
www.webgopek.com (gopek = lima ratus), bahasa penyebut angka tersebut
aslinya adalah bahasa Hokien yang telah mengalami proses ‘pembetawian’
atau proses adopsi dengan bahasa Melayu-Betawi, sehingga memungkinkan
untuk dilafalkan oleh warga etnis Betawi atau Melayu. Di dalam situs itu
pula jelas ditulis urut-urutan penyebutan Cina untuk angka-angka mulai
dari ‘tun’ untuk perak, ‘pek’ untuk ratusan, ‘ceng’ untuk ribuan, ‘ban’
untuk puluhan ribu, dan ‘tiao’ untuk jutaan.
Tapi kenapa hanya penyebutan angka-angka saja yang bisa beradaptasi
dengan bahasa Melayu Indonesia? Ini sudah pasti karena memang struktur
bahasa Cina itu sangat jauh berbeda dengan Melayu sehingga tak mudah
dilafalkan, dan ini juga sangat berhubungan dengan posisi etnis Cina
ketika itu yang sangat menguasai sektor perdagangan, sehingga
istilah-istlah yang sangat berhubungan dengan transaksi daganglah yang
lebih cepat diserap.
Cukup mengagetkan ketika mengetahui bahwa ternyata kata ‘gopek’ masuk
Kamus Besar Bahasa Indonesia daring yang artinya memang lima ratus.
Sementara kata ‘Cina’ di KBBI daring ada yang aneh, selain memang kata
Cina berarti nama sebuah negeri dan bangsa, ada satu istilah di situ
yaitu ‘cina buta‘ yang artinya: orang
yg menikahi perempuan dng dibayar (supaya perempuan itu setelah dicerai
dapat kawin lagi dng bekas suaminya yg telah tiga kali menalaknya). Nah
lho, kok bisa begitu ya artinya?
Namun pastinya, asimilasi budaya
antara etnis Cina dan Indonesia Nusantara sesungguhnya sudah berlangsung
lama, hanya saja para manusia kolonialis Eropa/Belanda sengaja memberi
jarak sehingga timbul istilah ‘cina’ dan ‘pribumi’ yang sebetulnya tidak
pernah ada, dan seharusnya tidak terjadi.
Selamat Tahun Baru Imlek 2561 (jigo lak it?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar