Apakah Presiden RI melanggar UU No. 24 Tahun 2009?

26 Oktober 2009

presidenrias

Jangan salah, meski judulnya tentang pelanggaran Undang-undang, tapi tulisan ini tidak akan membahas tentang politik, karena memang UU No. 24 Tahun 2009 itu adalah UU tentang BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN. Bahasa Indonesia menempati Bab 3, terdiri dari 20 pasal (pasal 25 hingga pasal 45). UU tersebut bisa diunduh di sini

Pelantikan Presiden Republik Indonesia baru saja berlangsung (20/10/2009), yang langsung diikuti dengan pelantikan para menterinya selang beberapa hari kemudian. Dalam rangka membekali para pembantunya tersebut, Presiden SBY dalam sidang kabinet paripurna pertama periode kedua pemerintahannya Jumat (23/10/2009) lalu, memberi slogan atau semboyan bagi para menterinya.

Slogan pertama adalah Change and Continuity (perubahan dan keberlanjutan), kedua adalah De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement (penguraian hambatan, percepatan, dan peningkatan), dan ketiga Unity, Together We Can (bersatu, bersama kita bisa). Lalu, memangnya ada yang aneh dengan slogan-slogan tersebut? Sama sekali tidak, hanya saja mengapa Presiden menyampaikan dan memetapkannya tidak dengan bahasa negerinya sendiri? Padahal ia tidak sedang berbicara di depan pers asing.

Kita semua yakin, para menteri dipilih karena mereka memiliki pendidikan yang baik, sehingga tak mungkin tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi sampai di mana letak kebanggaan seorang Presiden akan bahasanya sendiri? Siapa lagi yang akan merasa bangga terhadap bahasa nasionalnya kalau bukan kita?

Pasal 28 UU No. 24 Tahun 2009
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.

Jika mencermati isi dari Pasal 28 tersebut di atas, maka boleh dikatakan Presiden RI pada hari itu sedang melakukan pelanggaran konstitusi, atau sedang melakukan tindakan inkonstitusional. Namun, siapa yang mau peduli? Apalagi melakukan tuntutan hukum! :D

Bahasa Indonesia yang telah berjasa besar menyatukan ribuan suku di Nusantara ini (yang memiliki bahasa daerahnya masing-masing), rupanya tidak dianggap oleh pemimpin negaranya sendiri. Dia lebih bangga, lebih suka, lebih pede ternyata jika memakai bahasa asing, meski berbicara dengan bangsanya sendiri. Sungguh malang nasibmu bahasaku. (b\w)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar