Itu Lia, yang ngurus bagian kehumasan di kantor, dia curhat kalo lagi bete karena baru ditilang, ngerayu polisi sampe kege-eran dan dengan pedenya si polisi minta nomer henpon.
Nggak ada yang salah sih sama kalimat di atas. Tapi coba
perhatikan kata-kata yang digaris bawah. Kita biasa menganggapnya
sebagai satu kata, padahal tanpa kita sadari kata-kata itu awalnya
adalah sebuah akronim dan singkatan.
Kehumasan yang asal katanya humas,
berasal dari akronim hubungan masyarakat. Saking seringnya dipakai,
sampai-sampai dianggap seperti sebuah kata. Begitu juga dengan tilang,
sebuah akronim dari kata bukti dan pelanggaran, paling sukses
bermetamorfosis jadi sebuah kata. Kedua akronim ini juga punya prestasi
yang bagus di dunia persilatan bahasa, yaitu sukses dengan utuh masuk KBBI.
Sebuah akronim atau singkatan atau istilah, bisa dibilang sukses jadi
sebuah kata jika dia sudah tidak canggung jika ditempelkan dengan
imbuhan, contohnya seperti dua kata di atas. Kata bete meski boleh dibilang istilah baru, statusnya sudah bisa sejajar dengan curhat karena seringnya orang pakai kata itu, meskipun kedengarannya masih nggak enak
jika ditambah imbuhan. Beda dengan curhat yang sudah nyaman jika
dipakai imbuhan, malah ada yang memakainya sebagai akronim dengan
menjadikannya istilah baru: curcol, curhat colongan (menggunakan kesempatan yang bukan waktunya untuk curhat).
Kalo pede dan ge-er beda lagi
asal-muasalnya. Berawal dari singkatan huruf pertama percaya dan diri,
serta gede dan rasa, mereka sukses memposisikan diri jadi kata yang
sering dipakai. Sejenis mereka adalah kata hape yang berasal dari bahasa asing handphone, ini pun di “Indonesiakan” jadi henpon.
Ternyata tanpa kita sadari banyak kata-kata yang asalnya terdiri dari
dua kata atau lebih, bahkan sebenarnya merupakan singkatan, namun
selama kita sesama pemakai bahasa sepakat untuk ikhlas memakainya jadi
sebuah kata, dan saling mengerti artinya, ya nggak masyalah, gitu aja kok repot…
(16 Februari 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar