30 April
2011
Di harian
Kompas yang terbit pada hari Jumat 29 April 2011, tepatnya di kolom ‘Bahasa’
halaman 15, ada tulisan bapak Anton M Moeliono yang sangat menarik, berikut
tulisannya:
BAHASA
Kumpul Kerbau
Kumpul Kerbau
Ada perbedaan yang jelas antara
proses penyerapan kosakata asing zaman dulu dari yang sekarang. Dahulu
penyerapan didasarkan pada pendengaran dan hasilnya ditulis dengan huruf yang
dianggap paling dekat dengan bunyi vokal atau konsonan Indonesia. Misalnya, chaffeur
(Belanda) menjadi sopir, winkel menjadi bengkel, dan luitenant
menjadi letnan.
Menurut penelitian mahasiswa saya,
bentuk serapan dari bahasa Belanda hingga awal Perang Dunia Kedua berjumlah
kira-kira 4.000 butir. Di samping itu selama berabad-abad berlangsung
penyerapan antara lain dari bahasa Sanskerta, Arab, Cina, Portugis, Tamil, dan
Persia. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dewasa ini paling banyak menyerap
kosakata dari bahasa Inggris ragam Amerika, Britania, dan Australia.
Karena bangsa Indonesia sedang
memasuki peradaban beraksara dan teknologi informasi, warga masyarakat bangsa
Indonesiadi mana pun tinggalnya diharapkan memakai unsur kosakata serapan dengan
bentuk tulisnya sama dan seragam, sedangkan lafalnya dapat berbeda menurut suku
etnis dan bahasa daerah yang masih dipakainya.
Ambillah kata Belanda dan Inggris bus,
yang di Medan lafalnya mungkin mirip dengan busuk atau busur,
tetapi di Bandung lafalnya menjurus ke beus seperti kata beureum
‘merah’, dan di Yogya condong ke bis sebab orang ngebis.
Akhir-akhir ini diperkenalkan bentuk busway, dan yang suku awalnya
dilafalkan secara Inggris: bas. Demi keseragaman, yang menjadi ciri
pembakuan, kita menetapkan ejaannya jadi bus.
Sejak 1972 dipakai pedoman berikut.
Proses penyerapan bertolak dari bentuk tulisan tak lagi dari lafal ungkapan
asing. Ejaan kata Inggris management diubah menjadi manajemen
yang lafalnya oleh orang Yogya berbeda dari orang Padang. Namun, ejaan atau
bentuk tulisannya sama. Namun, karena kita tidak merasa wajib mematuhi kaidah dan
aturan, kecuali jika ada sanksi, atau denda, kata basement belum diserap
menjadi basemen (ba-se-men) walaupun sudah ada aransemen, klasemen,
dan konsumen. Kata basement dapat diterjemahkan jadi ruang
bawah tanah dengan akronimnya rubanah.
Sikap taat asas juga perlu
diterapkan pada unsur serapan yang berasal dari bahasa daerah Nusantara.
Ungkapan kumpul kebo kita nasionalkan menjadi kumpul kerbau
karena yang berkumpul serumah itu bukan kerbau-kerbau Jawa saja. Selanjutnya
orang yang membangkang atau menentang perintah tidak mbalelo, tetapi membalela.
Orang yang tidak berprasangka bahwa daya ungkap bahasa Indonesia masih rendah
akan menemukan kata membalela di dalam kamus Poerwadarminta yang terbit
pada tahun 1952.
Begitu pula ada kata merisak
‘menakuti atau menyakiti orang yang lebih lemah’ untuk memadankan to bully
dan bullying, serta kata berlepak menghabiskan waktu dengan
duduk-duduk tanpa melaksanakan sesuatu yang bermanfaat untuk mengungkapkan
budaya remaja to hang out.
Kita tidak mengenal kosakata Indonesia
karena, menurut laporan terakhir, 50 persen dari sekolah dasar dan 35 persen
dari sekolah lanjutan pertama pemerintah tidak memiliki koleksi pustaka, dan
kamus tidak disertakan berperan dalam proses belajar-mengajar bahasa.
ANTON M MOELIONO, Pereksa Bahasa, Guru Besar Emeritus UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar